Ketika Air Menenggelamkan Asa

2 weeks ago 31

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

ADA pembaca setia tulisan saya, mengingatkan. “Bang, kenapa tidak menulis banjir di Kalbar?” Seketika saya kaget. “Astaghfirullahal’azim. Maaf, kali ini saya seperti menutup mata ketika daerah sendiri terkena banjir.

Terima kasih sudah mengingatkan.” Saya lalai. Saat LA terbakar, betapa antusias saya menuliskannya. Sampai ada negur, “Mana empati lo buat Gaza.” Itu selalu saya ingat. Sekarang daerah sendiri. Baiklah, para camanewak mania, inilah ungkapan hati saya terhadap banjir di Bumi Khatulistiwa.

Langit mencurahkan air mata. Deras. Tak berhenti. Seakan bumi harus dimandikan segala pedihnya. Namun, kali ini bukan penyucian yang tiba, melainkan bencana. Banjir. Bukan dongeng tahunan lagi. Ini nyata. Ia datang menghapus batas antara rumah dan sungai, antara harapan dan ketidakpastian.

Sambas, Landak, Bengkayang, Singkawang. Empat nama yang kini tenggelam bukan dalam peta, tetapi dalam nestapa. Air merayap perlahan, lalu menggila. Tak ada yang tersisa, kecuali pertanyaan di kepala, “Salah siapa?” Tapi jawaban tak lagi penting saat rumah terendam hingga atap, saat tubuh direnggut air yang dinginnya seperti menertawakan.

Sambas, daerah kelahiran saya. Di sana, ada 27 desa kini hanya bayangan masa lalu. Rumah-rumah yang dulu berdiri gagah kini tak lebih dari pondasi yang berjuang melawan arus setinggi satu meter. Kecamatan Paloh dan Galing menjadi panggung drama alam. Hati siapa tak remuk mendengar 3.015 keluarga harus menatap kosong harta benda yang hanyut, memeluk anak-anak mereka di tengah lantai kayu rumah tetangga yang masih bertahan?

Landak, tempat dulu saya pernah bertugas. Air di Darit dan Ansang bukan lagi menggenang, tapi naik ke atas dada, menyentuh atap, meruntuhkan dinding. Dua meter! Bayangkan. Angka itu bukan statistik dingin. Itu adalah penanda di mana kehidupan dihentikan. Dua nyawa melayang. Nama mereka mungkin tak akan tercatat dalam sejarah, tapi bagi keluarga mereka, dunia telah runtuh.

Bengkayang tempat KKN S2 saya. Ada 129 jiwa terdampak. Jumlahnya kecil, katanya. Tapi siapa yang peduli? Setiap jiwa adalah dunia kecil. Dunia yang kini hanya punya satu warna, cokelat keruh air.

Singkawang, tempat sekolah saya. Ada 4.095 jiwa terdampak. Sebuah angka yang terlalu besar untuk disebut tragedi kecil. Mereka tak butuh kata-kata penghibur. Mereka butuh tanah yang kering, makanan yang cukup, dan tempat tidur yang tak dibayangi ketakutan.

Banjir ini bukan hanya air. Ini adalah ketakutan yang melilit leher. Kekosongan yang menekan dada. Kita tak bisa duduk diam dan berkata, “Kasihan ya.” Tidak. Ini saatnya bertanya, apakah kita hanya penonton?

Bantuan datang, katanya. Tapi lambat. Seperti kilatan petir yang tak pernah disusul hujan. Kita adalah bangsa yang pandai berbicara, tapi lambat bertindak. Rumah hanyut, hidup luluh, tapi apa yang diberikan? Beras 5 kilogram, mungkin. Atau selimut tipis yang tak cukup menghangatkan tubuh letih.

Kalimantan Barat, tanah yang katanya jantung dunia. Tapi lihatlah sekarang. Pohon-pohon besar telah diganti sawit. Sungai-sungai telah diracuni limbah. Hujan yang dulu berkah, kini seperti amarah. Jangan salahkan langit. Salahkan kita yang tak lagi tahu cara menjaga bumi.

Kita yang tak terdampak, bagaimana kabarnya? Apakah sudah cukup merasa kasihan lalu lupa? Ataukah kita masih punya hati untuk membantu? Bukan dengan doa kosong, tapi dengan aksi nyata.

Ini bukan cerita tentang mereka yang jauh di sana. Ini cerita kita. Sebab banjir bukan hanya soal air. Ini tentang kemanusiaan yang diuji. Akankah kita lulus, atau gagal lagi?

#camanewak

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |