Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
HARI ini Jumat. Hari baik untuk menjadi alim walau hanya sejam. Sisanya? Kembali menjadi makhluk ambigu yang berdiri di antara surga dan dunia endorse.
Maka izinkan saya, dalam semangat yang setengah religius dan setengah nyinyir ini, menyampaikan sekelumit kegelisahan eksistensial. Kenapa, oh kenapa, makin susah membedakan manusia dan setan?
Maksud saya, keduanya kini sama-sama lihai dalam memakai jas, sama-sama bisa khutbah di mimbar, bahkan sama-sama bisa bikin konten TikTok. Dulu, setan itu identik dengan tanduk, bau belerang, dan tawanya “muahahaha”.
Sekarang? Ia bisa saja tampil dengan dasi merah, naik Alphard, dan memberi ceramah tentang akhlak mulia di hotel bintang lima.
Ambil contoh Aguan. Taifan satu ini, bukan sebutan metereologi, tapi manusia berlabel konglomerat yang dikisahkan menyumbang memperbaiki rumah warga miskin di penjuru negeri. Tanpa APBN, tanpa dana bansos yang biasanya nyasar ke pulau tak berpenghuni. Murni dari dompet pribadi.
Miliaran rupiah mengalir seperti air zamzam, menyirami rumah-rumah reyot agar jadi istana sederhana bagi mereka yang dulu tidur dengan atap langit. Pujian datang silih berganti. Padahal, sebelumnya, Aguan selalu dikaitoan dengan kasus pagar laut, PIK 1 dan PIK 2. Macam-macam isu negatif menimpa taifan asal Palembang itu.
Namun sayang seribu sayang, di negeri kita, kebaikan kadang malah bikin curiga. “Jangan-jangan ada udang di balik bakwan,” kata netizen yang hidupnya tak pernah jauh dari kecurigaan tingkat dewa. “Ini pasti pencitraan,” ujar lainnya sambil rebahan, tak sadar sudah tiga hari ngutang di warung kopi.
“Mau garap tambang mana lagi tu,” telisik yang lain sambil nunggu jatah dari ibunya yang jualan gado-gado di emperan toko.
Lucunya, saat saya menulis apresiasi sederhana atas kebaikan itu, saya pun dituduh, “Jangan-jangan abang ini udah dikasih amplop sama Aguan.” “Jangan-jangan sudah dibelikan villa di Bali tu.”
Oh Tuhan, seandainya betul begitu, niscaya tulisan ini sudah saya tulis sambil duduk di balkon hotel Dubai, bukan di warkop reot yang kursinya bunyinya “kriiit” setiap saya bergeser.
Lalu saya berpikir, betapa rumitnya menjadi manusia zaman ini. Mau jahat, dikutuk. Mau baik, dicurigai. Salah langkah sedikit, bisa langsung trending dengan hashtag #TobatDuluBang.
Hari ini ente bisa jadi pahlawan nasional TikTok karena nyumbang seribu nasi bungkus. Besoknya, ente dibongkar masa lalunya, pernah nyuri semangka tetangga waktu SD, dicap moral labil.
Kita lupa satu hal penting, manusia itu entitas paradoks. Seperti kopi susu: ada pahit, ada manis, tergantung seduhan. Tak ada manusia yang sepenuhnya suci, kecuali dia belum sempat hidup.
Tak ada pula setan yang sepenuhnya hitam, karena bahkan iblis pun dulunya ahli ibadah, lho. Hanya kalah di satu ujian, sombong. Mirip netizen, sebenarnya.
Nah, bagaimana cara membedakan manusia dan setan di zaman ini? Sederhana, lihat bayangannya. Jika ia tak punya bayangan, mungkin dia bukan manusia. Tapi kalau punya bayangan, belum tentu juga manusia. Bisa saja itu influencer endorse jimat penglaris.
Akhir kata, izinkan saya menutup dengan kutipan dari filsuf legendaris, yang sebenarnya fiktif dan hanya muncul di kepala saya, “Manusia zaman ini lebih sering diuji bukan pada saat miskin, tapi saat kaya dan punya followers.”
Selamat Jumat. Jangan-jangan, kita pun sedang ditonton para setan, yang heran melihat betapa manusia kini lebih lihai memainkan peran mereka.
#camanewak