Oleh: Benz Jono Hartono
[ Praktisi Media Massa ]
DI tengah gemuruh modernitas dan hiruk-pikuk disrupsi digital, Indonesia menghadapi satu krisis yang lebih sunyi tapi jauh lebih mengkhawatirkan, krisis moral.
Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia semestinya menjadikan nilai-nilai etika, adab, dan akhlak sebagai pilar utama pembangunan.
Namun sayangnya, pendidikan moral hari ini seperti sedang berjalan tertatih dalam lorong gelap yang dihiasi gawai, algoritma, dan kehausan akan pengakuan sosial.
*Mengapa Revitalisasi dan Rehabilitasi Diperlukan?*
Pendidikan moral tidak lagi menjadi pusat dari kurikulum pendidikan nasional. Ia telah lama dikerdilkan menjadi pelengkap dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, atau sekadar jam tambahan pelajaran agama yang kering dan normatif.
Nilai-nilai luhur yang dulu diajarkan melalui surau, pesantren, dan keluarga, kini digantikan oleh konten-konten viral TikTok yang mengajarkan “berani, asal cuan”.
Krisis ini bukan hanya terlihat dari statistik kekerasan anak, korupsi, pelecehan seksual, hingga intoleransi yang meningkat.
Ia juga terasa dalam pergeseran orientasi hidup generasi muda, dari mencari kebenaran menjadi mengejar sensasi. Dari menjadi insan bermartabat menjadi bintang instan.
*Pendidikan Moral Bukan Sekadar Teori, tapi Keteladanan*
Dalam Islam, pendidikan moral adalah inti dari misi kenabian, *“Innamā bu’itstu li-utammima makārim al-akhlaq” – Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.*
Maka, revitalisasi pendidikan moral bukanlah menambah teori, tetapi menghidupkan kembali nilai-nilai Islami yang universal, kejujuran, amanah, kasih sayang, toleransi, tanggung jawab, dan cinta ilmu.
Namun sayangnya, pelajaran agama sering terjebak dalam dogmatisme ritualistik. Guru mengajar akidah, tapi tidak meneladankan keadilan. Buku mengulas fikih, tapi tak menyentuh moralitas sosial.
Anak-anak hafal hukum wudu, tapi tidak tahu bahwa menghina temannya adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai Islam itu sendiri.
Revitalisasi berarti mengembalikan pendidikan moral ke akarnya, keteladanan, pembiasaan, dan pembudayaan. Sedangkan rehabilitasi adalah menyembuhkan sistem pendidikan kita dari kegagapan spiritual dan kekosongan makna hidup.
*Strategi Revitalisasi dan Rehabilitasi*
Integrasi Moral dalam Semua Mata Pelajaran Matematika bisa mengajarkan kejujuran, sejarah bisa membentuk rasa tanggung jawab, dan sains bisa menumbuhkan kekaguman akan ciptaan Tuhan. Pendidikan moral tidak eksklusif untuk guru agama.
*Pelatihan Guru sebagai Role Model*
Guru adalah figur moral. Maka mereka harus lebih dulu direhabilitasi dari krisis etika birokrasi pendidikan, pungli, manipulasi nilai, hingga ketidakpedulian terhadap murid.
*Penguatan Keluarga dan Komunitas*
Pendidikan moral tak bisa diserahkan sepenuhnya pada sekolah. Keluarga sebagai madrasah pertama, dan komunitas sebagai lingkungan tumbuh-kembang harus dilibatkan melalui program keagamaan yang substantif, bukan sekadar seremonial.
*Pemanfaatan Teknologi untuk Dakwah Moral*
Bangun platform digital edukatif yang mampu bersaing dengan konten hedonis. Video, podcast, dan game edukatif berbasis akhlak Islami perlu direkayasa ulang oleh para kreator muslim Indonesia.
*Reformasi Kurikulum Nasional*
Kurikulum harus menempatkan pendidikan moral bukan sebagai embel-embel, tetapi sebagai poros pembangunan karakter bangsa, sesuai dengan cita-cita UUD 1945 dan visi Islam rahmatan lil ‘alamin.
*Penutup*
*(moral bukan warisan, tapi pilihan peradaban)*
Bangsa Indonesia tidak akan pernah besar hanya karena kekayaan alamnya. Ia akan dihormati dunia hanya jika mampu menampilkan wajah moralitas dalam peradabannya. Dan karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim, maka tanggung jawab moral ini tidak bisa diabaikan.
Pendidikan akhlak harus direbut kembali dari keterasingannya direvitalisasi dalam semangat kenabian, dan direhabilitasi dari jeratan sekularisme, materialisme, dan pragmatisme, dari sistem pendidikan kita hari ini.
Revitalisasi dan rehabilitasi pendidikan moral bukanlah pilihan, ia adalah keharusan sejarah, jika bangsa ini tidak ingin kehilangan ruhnya.