Hijrah Itu Bukan Pelarian, Hijrah Adalah Ledakan Peradaban

11 hours ago 3

SAYA ucapkan dulu, “Selamat Tahun Baru Hijriah atau Tahun Tahun Islam 1447 H” Tadi malam banyak yang baca doa di masjid, di rumah.

Ada juga mendengarkan tausiah. Tak sedikit pula nongkrong di kafe. “Mumpung libur, wak!” katanya. Narasi ini mencoba mengenang peristiwa hijrah, dengan harapan generasi sekarang bisa tahu dan paham pentingnya peristiwa tersebut.

Siapkan secangkir kopi tanpa gula, karena tulisan ini mengandung refleksi. Here you are..

Di antara serpihan sejarah yang terabaikan, satu momen menjulang seperti obor di tengah malam paling kelam, Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.

Peristiwa ini bukan sekadar perpindahan geografis, bukan pula catatan biasa di buku teks pelajaran agama. Ia adalah garis patahan sejarah, tempat di mana dunia lama pecah berkeping, dan dunia baru lahir dalam darah, peluh, dan cinta. Hijrah bukan dimulai dengan pelukan, tapi dengan luka.

1. Makkah: Tanah Suci yang Membakar Orang-Orang Suci

Bayangkan kota suci Makkah di abad ke-7. Bukan seperti hari ini yang dipenuhi hotel mewah dan AC di Masjidil Haram, tapi sebuah lembah panas menyengat, tempat patung-patung berhala berjejer lebih padat dari antrean beli tiket konser K-Pop.

Di tengah hiruk pikuk peribadatan pagan dan pasar-pasar yang disesaki dusta, muncul seorang lelaki mulia bernama Muhammad bin Abdullah, yang menyuarakan satu kata yang menghancurkan tatanan ekonomi, politik, dan spiritual Quraisy: La ilaha illallah.

Apa balasannya?

Bilal bin Rabah diikat dan dijemur di padang pasir, ditindih batu besar di dadanya. Yasir dan Sumayyah, pasangan tua yang saleh, dibunuh dengan sadis. Sumayyah menjadi syahidah pertama dalam Islam. Abu Thalib dan Khadijah, pelindung dan istri tercinta, wafat nyaris bersamaan. Tahun itu dikenang sebagai ‘Aamul Huzn (Tahun Kesedihan). Nabi dicaci, dilempari kotoran, dipanggil gila dan penyihir.

Ketika semua cara gagal, Quraisy menyusun rencana pembunuhan terkoordinasi. Mereka ingin semua kabilah mengirim perwakilan muda terbaik, untuk membunuh Rasulullah serentak di satu malam. Sebuah “koalisi bunuh massal” demi menjaga status quo.

2. Malam yang Mengguncang Takdir

Di malam paling menegangkan dalam sejarah Islam, Rasulullah dengan ketenangan setenang gunung, memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya. Di luar, para algojo telah mengepung rumah. Ali tahu, ini bisa jadi malam terakhirnya. Tapi dia tidak menolak. Inilah malam keberanian melawan kematian.

Rasulullah lalu menyelinap keluar rumah, membaca QS. Yasin 9, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding pula, lalu Kami tutup mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.”

Dengan mukjizat ilahi, beliau lolos dari lingkaran maut, dan segera menuju rumah sahabat karibnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq.

3. Gua Tsur: Markas Rahasia Sang Revolusioner

Mereka berdua menyusuri jalan selatan menuju Gua Tsur, sebuah lubang batu kecil di tebing cadas yang tak ramah manusia. Di sanalah mereka bersembunyi selama tiga hari, sementara pengejar Quraisy mengendus jejak mereka hingga ke mulut gua. Abu Bakar gemetar bukan karena takut mati, tapi takut Rasulullah disakiti.

Dalam riwayat sahih disebutkan, Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, andai salah satu dari mereka menunduk, pasti dia melihat kita!” Nabi menjawab tenang, “Ya Aba Bakr, apa pendapatmu tentang dua orang yang bersama mereka adalah Allah?” (HR. Bukhari-Muslim)

Saat itulah mukjizat terjadi, seekor laba-laba memintal sarang, dan burung merpati bersarang di mulut gua. Para pemburu Quraisy pun pergi. Tuhan mematahkan pedang-pedang mereka dengan jaring laba-laba.

4. Perjalanan Tanpa Jaminan

Setelah tiga hari, mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Rute mereka bukan jalan utama, tapi jalur curam penuh bahaya. Abdullah bin Abu Bakar menjadi informan yang menyuplai berita, sementara Asma’ binti Abu Bakar, wanita tangguh yang membelah ikat pinggangnya untuk membawa logistik, menjadi pahlawan tanpa medali.

Amir bin Fuhairah, mantan budak, menggembala kambing menyusuri jejak kaki Nabi dan Abu Bakar untuk menghapus jejak. Strategi ini, dalam istilah militer modern, setara dengan operasi penyamaran intelijen tingkat tinggi.

Di tengah jalan, Suraqah bin Malik muncul, tergiur imbalan 100 ekor unta. Tapi kuda Suraqah terperosok tiga kali ke pasir. Suraqah akhirnya menyerah, lalu diberi jaminan keselamatan. Di kemudian hari, ia masuk Islam. Kelak, di masa Khalifah Umar, ia benar-benar mengenakan gelang emas Raja Persia, sebagaimana dijanjikan Nabi dalam mukjizat nubuwah.

5. Madinah: Fajar dari Tanah Anshar

Rasulullah tiba di Quba pada 8 Rabiul Awal 1 Hijriyah. Di sana, beliau mendirikan masjid pertama dalam sejarah Islam. Empat hari kemudian, beliau memasuki Yatsrib, yang sejak saat itu dikenal sebagai Madinah al-Munawwarah (Kota yang Bercahaya).

Kaum Anshar menyambutnya dengan nyanyian, “Thala‘al Badru ‘Alayna min tsaniyyati al-Wada’ Wajaba syukru ‘alaina ma da’a lillahi da’…

Itu bukan sekadar lagu. Itu adalah proklamasi penerimaan kenabian. Madinah, kota penuh konflik antar suku, kini menjelma menjadi ibu kota Islam.

6. Hijrah: Revolusi yang Tidak Pernah Usai

Hijrah bukan pelarian. Hijrah adalah transisi dari kegelapan menuju cahaya. Ia adalah reset peradaban, bukan sekadar kabur dari masalah. Dalam waktu singkat:

• Rasulullah membangun masjid, bukan istana.
• Beliau memperkuat ukhuwah, bukan membentuk partai.
• Beliau menulis Piagam Madinah, konstitusi antar-agama pertama dalam sejarah dunia.

Hijrah membuka babak baru, perang-perang Badar, Uhud, Khandaq. Tapi juga lahirnya sistem ekonomi Islam, zakat, dan dakwah ke seluruh jazirah.

Hari ini, kita peringati 1 Muharram sebagai Tahun Baru Islam. Tapi apakah kita ikut menghijrahkan hati?

• Kita pakai gamis dan niqab, tapi masih menggadaikan integritas demi cuan.
• Kita pakai slogan “hijrah”, tapi masih menjadikan dunia tujuan, bukan kendaraan.
• Kita berteriak “back to sunnah”, tapi masih menjatuhkan saudara seiman hanya karena beda mazhab.

“Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tapi siapa yang hijrahnya karena dunia atau wanita, maka itulah yang ia dapatkan.” HR. Bukhari & Muslim

Hijrah bukan tren. Ia pengorbanan. Ia berarti siap kehilangan segalanya demi satu hal, Allah.

Hijrah Rasulullah adalah detonasi sejarah. Tanpa hijrah, takkan ada negara Islam, takkan ada Fath Makkah, takkan ada penyebaran Islam ke Afrika, Asia, dan Eropa. Kita hari ini bisa menyebut nama Allah dengan bebas, karena ada satu langkah kaki menuju Madinah di tahun 622 Masehi.

Maka pertanyaannya, sudahkah kamu hijrah dari Makkahmu sendiri? Dari ego? Dari dosa? Dari kemunafikan? Ataukah kamu masih bersembunyi di gua kemalasan, menunggu “waktu yang tepat” untuk berubah?

Hijrah itu sekarang. Bukan nanti. Karena Tuhan tak butuh niat kita esok hari, jika hari ini saja belum kita tegakkan.

Referensi:
• Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah
• Muhammad Husain Haekal, Hayatu Muhammad
• Tafsir Ibnu Katsir dan Qurtubi
• HR. Bukhari dan Muslim.

#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |