SAAT Donald Trump sukses mendamaikan Iran vs Israel, dunia tepuk tangan. Padahal, ia memulai, ia pula mengakhiri.
Damai memang bisa dicapai oleh “Tom and Jerry,” tidak dengan Gaza Palestina. Usai damai, daerah ini malah dibom lagi. Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!
Ketika Iran dan Israel akhirnya menandatangani gencatan senjata, 24 Juni 2025, dunia bernapas lega. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelipkan harapan dalam setiap jeda koma siaran pers mereka. Donald Trump, yang entah bagaimana bisa kembali jadi Presiden, mengangkat dua tangan ke langit dan berkata, “Peace is very close,” seperti nabi-nabi zaman kapitalisme. Dunia pun bersorak. Tapi Gaza? Gaza justru menerima kiriman rudal berikutnya dengan alamat yang tidak pernah keliru, rakyat sipil.
Dalam dunia paralel yang absurd ini, gencatan senjata bukan berarti diam. Ia berarti fokus dialihkan. Gaza menjadi layar utama dengan resolusi tinggi dan ledakan surround stereo 9.1. Sejak 13 Juni, ketika Israel mulai membombardir Iran sebagai bentuk pembuktian testosteron geopolitik, lebih dari 860 warga Palestina di Gaza tewas.
Tapi siapa yang peduli? Karena tampaknya, dalam kamus diplomasi internasional, kata “Palestina” letaknya persis di antara “pengabaian” dan “pengalihan isu.”
Pada 25 Juni saja, dalam satu hari yang tidak terlalu istimewa bagi para pemegang senjata, 78 orang di Gaza menemui ajalnya. Termasuk 33 jiwa yang sedang mengantre bantuan makanan.
Ya, di Gaza, lapar bisa membunuhmu, dan bantuan bisa jadi alasan untuk dirudal. “Weaponized hunger,” kata PBB, ungkapan elegan untuk kenyataan yang biada, membunuh orang bukan karena mereka melawan, tapi karena mereka bertahan hidup.
Gencatan senjata dengan Iran justru membuka lembaran baru penderitaan Gaza. Seperti sepasang kekasih yang berbaikan sambil menendang tetangga. Militer Israel kini kembali fokus, kembali “serius,” dan kembali menyebut perang ini sebagai “operasi pembebasan sandera.” Tapi rakyat Gaza tahu, mereka bukan sandera, mereka cuma figuran tak berdialog dalam drama yang tak pernah mereka pilih.
Qatar dan Mesir sibuk menjadi mak comblang yang mempertemukan dua orang yang saling membenci tapi harus duduk semeja. Trump bilang gencatan senjata di Gaza sudah “sangat dekat,” tapi kita tahu, di kamusnya “dekat” bisa berarti setelah pemilu berikutnya, atau mungkin setelah dunia runtuh.
Sementara para diplomat menulis pernyataan manis dari dalam ruangan ber-AC, di luar sana, anak-anak Gaza menulis surat dengan darah di pasir.
Perdana Menteri Netanyahu kini bukan lagi politisi. Ia lebih mirip gladiator kuno yang haus sorak sorai. Buronan ICC ini baru saja mengalahkan Iran dalam versi diplomasi Hollywood, dan kini Gaza adalah arena gladiatornya. Tidak ada niat mundur, tidak ada niat damai.
Hanya ada “kemauan untuk menyelesaikan,” yang dalam praktiknya berarti lebih banyak tank, lebih banyak drone, lebih banyak keheningan yang pecah oleh dentuman.
Sementara itu, PBB terus membuat laporan yang tak akan dibaca, dan media dunia lebih sibuk meliput siapa menang Grammy. Gaza? Gaza tetap berdiri, atau lebih tepatnya, tetap bertahan dalam puing. Karena Gaza bukan sekadar tempat. Ia adalah ujian bagi siapa pun yang masih mengaku manusia. Sejauh ini, kita semua gagal. Dengan gemilang.
Perang modern bukan soal menang atau kalah. Ini tentang siapa yang paling jago berdalih, paling kuat menekan, dan paling sabar menghadapi hipokrisi global. Gaza menjadi catatan kaki dari perjanjian damai dunia, tempat manusia diuji bukan hanya dengan peluru, tapi dengan ketidakpedulian kolektif.
Di zaman ini, bahkan damai pun bisa jadi senjata. Gaza? Gaza sedang jadi panggung sandiwara dunia, di mana semua aktor sudah lupa naskah, dan penontonnya, hanya bisa menatap dengan air mata dan doa. Saya tidak tahu sampai kapan Israel terus membunuhi warga Gaza.
Dicap genosida pun negeri Yahudi itu tak pernah berhenti menumpahkan darah. Mungkin sampai warga di sana dihabisi semua baru berhenti membunuh. Mungkin orang Israel itu tak pernah ngopi kali, ya..?
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]