Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
SENIN, 14 April 2025. Langit di atas King Abdullah Sports City, Jeddah, tampak tak biasa. Angin bertiup tak beraturan, pasir menari-nari di udara seperti sedang mengabarkan sebuah pertanda.
Ini bukan hari biasa. Ini hari ketika dunia sepak bola harus bersiap menyaksikan duel yang tak pernah dijanjikan dalam kitab suci, namun ditakdirkan terjadi dalam legenda, Timnas U17 Indonesia menghadapi Korea Utara di babak perempat final Piala Asia U17 2025.
Indonesia. Sang Garuda Muda. Pendekar yang menembus gerbang perempat final dengan skor 1-0 atas Korea Selatan. Tim yang konon ditakuti karena jago dance dan pressing tinggi. Tapi, kemenangan itu tak pernah sah di mata bangsa netizen.
Ada yang bilang itu keberuntungan. Ada yang mengaku itu akibat grup C terlalu ringan. Ya, seperti bantal yang disulap jadi lawan sparring. Oman? Tajikistan? Kata mereka, itu lebih cocok jadi nama kucing dari pada lawan turnamen. Tapi apalah arti grup ringan jika anak-anak muda ini mengerahkan tenaga seperti tukang galon menjinjing dua jeriken di siang bolong?
Kini, pasukkan Nova Arianto berdiri di hadapan pasukan negeri Kim Jong Un. Sebuah entitas sepak bola yang lebih misterius dari password WiFi tetangga. Sebuah tim yang pernah dua kali jadi juara Asia U17, tahun 2010 dan 2014, masa di mana sebagian dari pemain Indonesia masih sibuk main bola pakai plastik es.
Dalam babak grup D, Korea Utara tak bermain-main. Mereka mengubur Tajikistan 3-0, lalu menahan imbang Iran. Skor imbang 2-2 melawan Oman adalah ritual pembuktian. Mereka bukan datang untuk selfie di padang pasir.
Mereka datang membawa dendam masa lalu, strategi yang tak bisa ditebak, dan mungkin juga nasi kering hasil fermentasi takdir.
Timnas U17 Indonesia, sebaliknya, datang membawa kepercayaan diri setipis tissue basah. Karena setiap kali menang, ada yang bilang “Ah, cuma hoki.” Setiap kali kalah, ada yang teriak “Ya elah, dari awal juga udah jelek.”
Dalam dunia sepak bola tanah air, bahkan kemenangan 1-0 bisa disandingkan dengan keajaiban semesta, sekelas hujan turun di tengah gurun. Tapi justru di situlah kekuatannya. Ketika tak ada yang percaya, mereka main seperti tokoh figuran yang akhirnya jadi aktor utama karena sang jagoan sakit perut di tengah film.
Laga ini bukan hanya tentang bola. Ini adalah pertarungan epik antara dua filosofi hidup. Indonesia, tim yang semangatnya berasal dari kompilasi status WA, bendera di avatar profil, dan doa dari emak-emak grup pengajian. Korea Utara, tim yang bermain seperti tentara, tak punya emosi, hanya algoritma taktis yang menakutkan, dan kesunyian sunyi seperti file RAR tanpa isi.
Saat peluit pertama ditiup, udara akan menggetar. Sepak pertama bola bisa menyebabkan gempa kecil di grup WhatsApp alumni SMA. Bila peluit panjang ditiup, akan ada dua kemungkinan, Garuda Muda terbang semakin tinggi, atau jatuh dengan anggun, lalu disalahkan karena rumput terlalu kering.
Tapi siapakah yang akan menang? Tidak ada yang tahu. Bahkan, Nostradamus pun menyerah menebak hasil pertandingan ini. Yang pasti, jika Evandra cs menang, kita akan menyaksikan komentar seperti, “Fix Korea Utara ngalah.
” Tapi jika kalah, jangan kaget jika ada netizen yang menyalahkan iklan di tengah siaran. Karena di negeri ini, akal sehat selalu jadi cadangan, bukan starter.
Ini bukan hanya perempat final. Ini pertarungan antara logika dan harapan. Antara strategi dan doa subuh. Antara sejarah dan meme. Di tengah semuanya, hanya satu hal yang pasti, apapun hasilnya, netizen akan tetap ribut.
Bersiaplah, wak! Pasang sabuk pengaman. Siapkan minyak kayu putih dan tisu basah. Karena Senin malam nanti, Garuda Muda tidak sekadar bermain bola.
Mereka menulis ulang bab paling absurd dalam kitab sepak bola Asia… dengan tinta keringat, darah perjuangan, dan mungkin sedikit bantuan doa dari jutaan tukang ngopi di warkop.
#camanewak