Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
KALAH 1-0 atau 2-0 masih dimaklumi. Ini sampai 6-0. Banyak netizen teriak, tak percaya. Debat antarnetizen pun tak bisa dihindarkan.
Dari debat panas itu muncul dua opsi, ganti pelatih atau naturalisasi pemain.
Lebih jelasnya, yok kita analisis buntut kekalahan bocil Garuda paling telak abad ini.
Kita mulai dengan fakta pahit yang lebih getir dari kopi tanpa gula, Timnas U17 kalah 0-6 dari Korea Utara. Ya, ente tidak salah baca, enam gol. Setengah lusin. Kalau itu telur, sudah bisa buka warung sarapan. Tapi sayangnya ini bukan telur, ini bola, dan kita bukan makan pagi, tapi dibikin sarapan oleh negeri Kim Jong Un.
Padahal, sebelumnya kita juara grup. Korea Utara? Runner-up. Tapi seperti plot twist sinetron, ternyata runner-up itu cuma kamuflase. Begitu perempat final dimulai, mereka berubah jadi gabungan antara timnas Brazil 1970 dan robot-robot Gundam. Kita? Masih sibuk cari sinyal untuk passing akurat.
Memang sih, tiket ke Piala Dunia U17 di Qatar 2025 sudah di tangan. Tapi dengan performa seperti itu, kita bukan masuk sebagai peserta, melainkan sebagai bahan praktik tim-tim besar.
Kita bakal jadi lumbung gol internasional. Kalau ada penghargaan “Tim dengan jumlah kebobolan terbanyak,” kita bisa pulang bawa piala, piala air mata.
Jadi apa solusinya? Ada dua, dan dua-duanya se-absurd nonton sinetron jam lima subuh.
Opsi pertama, ganti pelatih. Tapi bukan sembarang pelatih.
Kita butuh pelatih yang bisa menyulap pemain jadi Avenger. Mungkin bisa cari di Marvel atau Hogwarts. Atau langsung rekrut pelatih kelas dunia, asal jangan kelas dunia tipu-tipu.
Jangan yang CV-nya panjang tapi isinya cuma seminar daring. Kita butuh pelatih yang kalau ngelatih, pemain langsung bisa first touch macam Iniesta dan nyundul bola sambil salto kayak Ronaldo. Minimal bisa bedakan bola sama batu akik.
Opsi kedua, naturalisasi.
Ini jurus sakti era modern. Cari semua anak keturunan Indonesia yang lahir di Eropa. Pokoknya ada urat Melayu dikit, sikat. Kakek dari Parepare? Gas.
Nenek pernah transit di Soekarno-Hatta? Resmi jadi WNI. Gigi dobel 32? Itu ciri khas anak Indonesia. Kita kumpulin mereka semua, bawa ke Qatar, dan harap-harap cemas sambil nyanyi “Indonesia Raya” dengan aksen Amsterdam.
Karena kalau ngandelin yang sekarang, biarpun digembleng latihan tujuh kali sehari, mental tetap bisa ambyar kalau lawannya sudah main tiki-taka. Umpan masih nyasar, kontrol bola masih kayak nginjek sabun, dan gol? Ah, itu mah cita-cita, bukan rencana.
Tapi jangan sedih dulu. Kita masih punya satu kekuatan pamungkas, netizen.
Netizen kita itu luar biasa. Mereka bisa bikin mental lawan down hanya dengan kolom komentar. Siapa tahu Korea Utara menang karena sebelum pertandingan mereka nggak sempat baca Twitter. Lain kali, suruh pemain kita komentar dulu sebelum main.
Jadi, kita tunggu saja. Apakah PSSI bakal rekrut pelatih setara Dumbledore, atau naturalisasi anak hasil persilangan Bugis-Rotterdam? Yang jelas, opsi ketiga (yaitu pasrah dan terus jadi korban) semoga tidak dipilih.
Tapi, kalaupun itu yang terjadi, ya sudahlah, kita nonton sambil bawa kalkulator gol aja.
#camanewak