Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
KITA LUPAKAN bentar soal politik ya. Biarlah Hasto vs KPK dengan segala dramanya. Waktu libur ini ada baiknya menambah wawasan. Sambil santai di pinggir pantai, kenalkan Filsafat Kesadaran.
Bayangkan ente duduk sendirian, malam gelap, kopi tinggal ampas, dan tiba-tiba pikiranmu bertanya, “Aku ini siapa?” Nah, di situlah panggung megah bernama Filsafat Kesadaran dimulai.
Drama ini tidak ada sutradaranya, tapi aktornya ya cuma kamu, otakmu, dan mungkin secuil rasa penasaran yang nggak ada ujungnya.
Kesadaran itu apa sih? Sebentar, jangan buru-buru jawab! Ini bukan sekadar “Aku sadar karena nggak lagi tidur,” atau “Aku sadar gebetanku nggak suka balik.” Lebih dari itu, kesadaran adalah sensasi aneh di mana kamu merasa kamu adalah kamu, unik, spesial, dan ya… kadang absurd.
René Descartes, bapaknya filsafat modern, dulu pernah bilang, “Aku berpikir, maka aku ada.” Tapi kalau Descartes hidup di zaman sekarang, mungkin dia bakal tweet, “Aku overthinking, maka aku eksis di Tiktok malam-malam.”
Dia yakin kesadaran itu bukti bahwa kita ada. Masalahnya, dia lupa jawab pertanyaan paling penting, siapa yang ngurus semua proses mikir itu? Otak? Jiwa? Atau si pembuat drama semesta?
Lalu datang David Chalmers, si filosof modern yang bilang, “Kesadaran itu misteri tingkat dewa.” Katanya, memahami kesadaran itu seperti berusaha memahami kenapa mantan masih betah nongol di feed Instagram kita.
Kamu tahu itu terjadi, tapi kenapa dan bagaimana rasanya begitu menyakitkan, siapa yang tahu? Ini yang dia sebut sebagai Masalah Sulit Kesadaran.
Jangan lupakan Immanuel Kant. Lelaki yang senang membagi-bagi dunia kayak kue ulang tahun. Dia bilang, ada dua dunia. Pertama, Dunia Fenomena. Apa yang kamu rasakan, kopi pahit, suara hujan, atau notif WA dari grup alumni.
Kedua, Dunia Noumena. Apa yang sebenarnya terjadi, yang nggak pernah kamu tahu. Mungkin kopi itu sebenarnya bukan pahit, mungkin notif itu cuma spam!
Kesadaran ini seperti menonton film drama. Kamu tahu jalan ceritanya, tapi apakah kamu paham betul kenapa adegannya bikin nangis? Atau, lebih dramatis lagi, kenapa kamu tahu kamu sedang menonton? Semua pertanyaan ini berputar-putar di kepala tanpa henti, tapi ya begitulah seni filsafat kesadaran.
Ada yang bilang, kesadaran itu hanyalah hasil kerja otak. Bayangkan otakmu seperti sebuah kafe yang sibuk, ada barista (neuron), pengunjung ribut (pikiran), dan mesin kopi (proses otak). Tapi anehnya, nggak ada yang bisa menjelaskan kenapa kopi yang keluar rasanya nikmat, alias kenapa kesadaran itu terasa nyata.
Kalau kamu merasa sedikit pusing membaca ini, selamat! Kamu sudah masuk ke permainan filsafat kesadaran. Jangan buru-buru cari jawabannya, karena filsafat bukan soal menemukan, tapi menikmati pencarian. Kalau kamu akhirnya sadar kamu nggak tahu apa-apa, itulah puncak dari kesadaran.
Siapa tahu, di tengah drama pikiran ini, kamu justru menemukan sesuatu yang lebih, kopi hangat, senyuman, atau… kesadaran bahwa hidup memang penuh misteri.
Saya sadar masih menikmati kopi di pingggir pantai.
#camanewak