FOTO : Perwakilan warga Desa Pusaka, Kecamatan Tebas, saat mendatangi Kantor Inspektorat Sambas [ ist ]
redaksi – radarkalbar.com
SAMBAS – Suasana pagi di Kantor Inspektorat Kabupaten Sambas yang biasanya tenang, mendadak berubah hiruk-pikuk, pada Jumat, (11/4/2025).
Setelah, puluhan orang warga Desa Pusaka, Kecamatan Tebas, datang dengan wajah penuh kecewa dan amarah.
Mereka tidak datang untuk urusan administrasi atau pelayanan publik, melainkan membawa sebuah laporan yang telah lama mengganjal hati, soal dugaan perselingkuhan antara oknum Kepala Desa mereka dengan sang Sekretaris Desa.
Bukan sekadar kabar angin. Warga datang membawa tuntutan tegas, penonaktifan oknum Kepala Desa dan Sekdes yang dianggap telah mencoreng nama baik desa.
Skandal asusila ini telah menyebar luas, menampar etika dan moralitas aparatur pemerintahan desa.
“Kami datang untuk menuntut penonaktifan Kepala Desa dan Sekdes karena telah melakukan perbuatan yang tidak pantas dan sangat meresahkan warga,” ucap salah seorang perwakilan masyarakat dengan nada tegas di depan Kantor Inspektorat.
Mereka berdiri di bawah terik matahari, membawa suara hati yang sudah tak bisa lagi ditahan. Bagi mereka, apa yang terjadi bukan sekadar urusan pribadi dua pejabat desa.
Ini adalah soal integritas, soal teladan yang seharusnya diberikan oleh pemimpin kepada warganya.
Menurut laporan warga, hubungan gelap antara Kades dan Sekdes telah berlangsung diam-diam hingga berujung pada kelahiran seorang anak.
Meski pasangan tersebut kini mengklaim telah menikah siri pada 24 Februari 2024 di Singkawang, warga tetap mempertanyakan keabsahan pernikahan tersebut.
“Pernikahan sirinya kami anggap hanya untuk menutupi aib,” ujar seorang warga yang ikut dalam rombongan.
“Sekdes itu statusnya janda, dan kini melahirkan tanpa ada kejelasan sebelumnya kepada masyarakat,” timpal warga.
Dugaan ini makin memperkeruh suasana. Warga menyebutkan adanya dua saksi dalam proses pernikahan, namun identitasnya tidak pernah disampaikan secara transparan. Bagi masyarakat yang menjunjung tinggi norma sosial dan agama, ini bukan hal sepele.
Bagi warga Pusaka, kepala desa adalah sosok ayah. Tempat mengadu, tempat mencari keadilan. Namun kini, figur itu telah runtuh di mata mereka.
“Kepala desa itu ayah bagi kami. Tapi kini moral dan etika sudah tak ada lagi,” ujar seorang tokoh masyarakat dengan nada getir.
“Kami tak ingin dipimpin oleh sosok yang mencoreng nama baik desa,” sambungnya.
Kekecewaan itu jelas terpancar dari tiap wajah yang berdiri di halaman kantor Inspektorat. Mereka merasa dikhianati, tidak hanya oleh perbuatan, tetapi juga oleh diamnya sang pemimpin atas desas-desus yang selama ini berkembang.
Warga berharap laporan yang mereka sampaikan tidak hanya menjadi tumpukan kertas di meja birokrasi. Mereka ingin ada tindakan nyata dari Inspektorat dan pihak berwenang lainnya.
Pemecatan atau setidaknya penonaktifan sementara terhadap kedua aparatur desa dianggap penting demi menjaga stabilitas sosial dan menghindari konflik horizontal.
“Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal kepercayaan. Kalau pemimpin tak bisa memberi contoh, bagaimana masyarakat akan merasa aman dan dihargai?” cetus warga lainnya.
Hari itu, halaman Kantor Inspektorat tidak hanya menjadi saksi dari sebuah laporan. Dan menjadi panggung dari kegelisahan dan keresahan yang telah lama membara di hati warga Desa Pusaka.
Sebuah kisah cinta terlarang yang berubah menjadi tragedi moral dalam lembaran pemerintahan desa.
Kini, semua mata tertuju pada langkah Inspektorat, akankah keadilan bersuara? [ red/Ray/MK/r]