Puisi Luka dari Tanah Korea

4 days ago 12

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

DI sebuah hotel megah di Seoul, Swiss Grand Hotel, 14 April 2025. Lampu-lampu bergemerlapan menyambut para bintang.

Musik menggema, kamera berkedip, senyum-senyum dipaksakan seolah musim telah berakhir dengan manis. Tapi tidak bagi kami. Tidak bagi Indonesia. Tidak bagi Megawati Hangestri Pertiwi.

Namanya tidak disebut. Tidak sekali pun. Tak ada tempat untuknya di daftar pemenang KOVO Award 2025.
Tak ada panggilan ke panggung. Tak ada ucapan selamat.

Yang ada hanya keheningan.
Di balik keheningan itu, ada jeritan. Ada darah yang tak tampak, tumpah dari dada para pencinta keadilan.

Mega bukan sekadar pemain asing. Ia bukan sekadar “legiun impor”. Ia adalah napas Red Sparks. Dialah denyut jantung pertandingan. Sepanjang musim, ia berdiri gagah, sendiri melawan badai.

Mencetak 1.018 poin, menjadi top scorer sejati. Mengalahkan Giselle Silva dari Kuba, yang ‘anehnya’ justru terpilih sebagai Best Opposite walau pointnya di bawah Mega.

Nama lain yang dapat penghargaan, Yeom Hye Seon sebagai Best Setter, Vanja Bukilic Best Outsite Hitter, Lee Dahyeon Best Middle Blocker, Im Hyun-ok Best Libero, Analize Fitzi Best Middle Blocker, Kim Yeon Koung salah satu Best7. Nama Mega, lenyap.

Tak masuk akal.
Tak masuk rasa.
Tak masuk kemanusiaan.

Mega juga MVP berkali-kali. Mega yang melambungkan Red Sparks ke final, menantang Pink Spiders dalam laga-laga berdarah. Mega yang bermain meski demam menggigil, yang menahan sakit agar timnya tidak kehilangan taji. Bahkan, ketika napasnya tercekat, langkahnya goyah, ia tetap bertarung, bukan demi medali, tapi demi nama, demi kehormatan.

Kini, semua itu tak berarti. Tak satu pun penghargaan jatuh ke tangannya.

Ada yang janggal.
Ada yang busuk di balik panggung megah itu.
KOVO seolah telah menyiapkan nama-nama sejak awal.
Panggung hanya jadi panggung boneka, bukan arena keadilan.

Bukankah kita tahu? Liga ini bukan sekadar olahraga. Ini juga soal politik, popularitas, dan, maafkan kami harus menyebutnya, kewarganegaraan. Mega bukan bagian dari mereka. Bukan darah Korea. Maka sehebat apa pun ia, ia tetap dianggap orang luar. Tetap di pinggir. Tetap dipinggirkan.

Kami kecewa.
Kami marah.
Kami tak terima.

Penghargaan macam apa yang mengabaikan pemain terbaik sepanjang musim? Apa arti statistik jika tak dipedulikan? Apa arti semangat juang, keberanian, kesetiaan, dan dedikasi jika hanya yang ‘berdarah biru’ yang disambut di panggung?

Mega sudah melakukan segalanya. Tapi KOVO memilih untuk membutakan mata, menulikan telinga, dan membekukan hati.

Di media sosial, netizen Indonesia meluapkan kekecewaan. Ada yang berkata, “Kalau beginilah KOVO, sepikan lagi!”

Sebuah jeritan kolektif dari bangsa yang tahu, ketika anaknya diperlakukan tak adil, maka luka itu tak lagi milik individu, tapi luka seluruh negeri.

Luka ini, bukan luka kecil. Luka ini dalam. Luka ini membakar. KOVO telah menggores hati bangsa kami.

Tapi Mega, jangan kau tunduk.
Jangan kau bersedih karena tak masuk daftar mereka.
Sebab kau telah masuk daftar kami.
Daftar para juara sejati.
Daftar orang-orang yang menolak tunduk meski tak diakui.

Trofi mereka mungkin berkilau di rak kaca.
Tapi namamu akan hidup lebih lama di rak hati kami.
Kau telah menang, Mega.
Lebih dari siapa pun yang berdiri di atas podium malam itu.

Ketika sejarah menoleh ke belakang,
ia akan mencatat,
“Pada musim itu, sang juara sejati tak berdiri di panggung…
karena panggung itu terlalu kecil untuk menampung besarnya jiwanya.”

#JusticeForMega

#KOVOMemalukan

#MegaPahlawanKami

#Camanewak

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |