FOTO : ilustrasi penyidik KPK RI saat melaksanakan penggeledahan [ ist ]
SEBELUMNYA saya telah menulis “KPK Beraninya pada Pejabat Rendahan.” Ramai ditanggapi netizen, dan ramai setuju.
KPK mengobok-obok Kalbar hanya menyasar para pejabat setingkat kepala dinas dan staff. Sementara tak berani mengusik ke atasnya, ke penguasa. Padahal, kepala dinas itu bekerja atas restu bosnya.
Apalagi kalau sudah main miliaran, tak mungkin sang penguasa tak mengetahui kerja kepala dinas. KPK semakin jauh dari harapan. Mestinya menangkap koruptor elite, bukan koruptor kelas teri yang cukup ditangani kejaksaan di sini.
Kalau Nietzsche hidup di Indonesia, dia pasti pensiun jadi filsuf dan buka warung kopi karena terlalu lelah melihat absurditas hukum di negeri ini. Sebab KPK, lembaga yang dulunya dielu-elukan rakyat sebagai penyambung tangan keadilan Tuhan, kini berubah jadi lembaga pencitraan yang ke mana-mana bawa rombongan kamera dan koper oranye, bukan untuk menangkap naga raksasa, tapi menciduk cicak.
Kalau nuan ingin tahu betapa hebatnya KPK, datanglah ke Kalbar. Mereka mengobok-obok birokrasi seperti chef mengaduk mi instan, tapi hanya sampai topping-nya. Kepala dinas dan para staf dipajang, dituduh, diangkut, seperti ikan mujair hasil tangkapan mancing harian.
Sementara pemilik kolam, yang jelas-jelas tahu di mana jaring dan ke mana ikan dijual, malah tidak disentuh sama sekali. Seolah-olah uang miliaran itu muncul sendiri seperti siluman.
Apakah logika kita sedang dihina? Apakah kita semua ini anak TK yang harus percaya bahwa kepala dinas bisa mengatur sendiri anggaran miliaran tanpa seizin bos besar di belakang layar? Untuk membeli gula kopi di kantor saja perlu persetujuan atasan. Apalagi untuk proyek bernilai puluhan miliar? Tapi KPK tampaknya percaya pada mitos birokrasi mandiri. Kepala dinas dianggap makhluk superpower yang bisa menciptakan korupsi tanpa komando.
Sementara itu, mari kita tengok kembali museum kasus besar yang mangkrak. Kasus TPPU Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik dari mantan Gubernur Banten Ratu Atut. Sudah divonis dalam kasus suap Ketua MK Akil Mochtar, tapi dugaan pencucian uangnya yang melibatkan 74 mobil dan 100 tanah entah ke mana. Kasus ini seperti sinetron stripping, panjang, membosankan, dan tak tahu kapan tamat.
RJ Lino, eks Dirut Pelindo II, sejak 2015 diselidiki dalam kasus pengadaan crane kontainer. Sudah satu dekade, tapi penuntutan belum juga tiba. Kita tidak tahu apakah ini kasus korupsi atau proyek riset arkeologi. Lalu ada pula kasus e-KTP, si raksasa kerugian negara Rp2,3 triliun.
Setya Novanto memang sudah dikurung, tapi nama-nama lain yang ikut menari dalam tarian uang elektronik itu masih bebas berkeliaran, mungkin sambil selfie di kafe atau main golf.
Petral? Kasus minyak mentah dan produk kilang yang diduga merugikan negara triliunan itu seperti lubang hitam. KPK menyalahkan faktor teknis, hukum lintas negara, dan mungkin cuaca Mars sebagai alasan lambatnya penanganan. Sementara itu, rakyat diminta sabar, karena ternyata menangkap koruptor besar lebih sulit dari mengirim satelit ke orbit.
Lucunya, KPK masih percaya diri. Mereka berdiri tegak, memberi konferensi pers, mengumumkan penangkapan pejabat kelas menengah seperti sedang menaklukkan gembong narkoba internasional. Padahal, dengan semua anggaran, kewenangan, dan sumber daya yang dimiliki, mustahil KPK hanya mampu menangkap remah-remah dosa.
Ini bukan ujaran kebencian, tapi bentuk cinta paling keras dari rakyat. Karena lembaga ini dulu adalah simbol harapan. Kini, ia seperti superhero yang kehilangan kekuatannya dan malah sibuk jadi bintang iklan.
KPK harus dibangunkan, ditampar oleh sejarah dan kesadaran filsafati. Bahwa hukum tidak hanya soal prosedur, tapi juga soal keberanian moral.
Jika tidak sanggup memburu predator-predator kelas kakap, serahkan saja urusan korupsi miliaran itu ke kejaksaan lokal. Biarlah KPK fokus jadi lembaga observasi sosial, mencatat, mencibir, lalu menunda.
Sebab kalau KPK hanya berani menangkap yang lemah, maka ia bukan pelindung rakyat, melainkan badut keadilan yang pentas di panggung kekuasaan.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]