FOTO : Ilustrasi penyidik KPK RI saat melaksanakan penggeladahan [ ist ]
KALBAR diobok-obok KPK. Macam jagoan. Para pejabat pun ketar-ketir. Mulai ada membungkam media. Ada daerah, tak ada berita diproduksi wartawan dari aksi KPK ini.
Luar biasa, wak! Mari kita dalami sambil seruput kopi tanpa gula.
KPK tampil gagah selama empat hari dari tangal 25 sampai 29 April 2025. Lembaga anti rasuah ini mengobok-obok tiga kabupaten: Mempawah, Sanggau, dan Pontianak.
Tiga daerah itu mendadak terasa seperti pusat jagat antikorupsi nasional. Ini seolah-olah Jakarta sudah bersih dari dosa dan hanya menyisakan semilir angin harapan.
Ada 16 lokasi digeledah. Enam belas! Jumlah yang lebih banyak dari jumlah jaket almamater mahasiswa baru. KPK menyasar proyek infrastruktur yang katanya sarat penyimpangan. Katanya ada kerugian negara.
Katanya aliran dana mencurigakan. Katanya lagi, seperti biasa, mereka sedang mengumpulkan bukti. Entah bukti itu akan dibawa ke pengadilan, atau disimpan dalam laci dan dilupakan ketika perhatian publik sudah pindah ke skandal artis yang kawin siri.
Yang jelas, tiga orang sudah naik tingkat menjadi tersangka. Sementara enam lainnya masih saksi. Selebihnya masih bergentayangan dalam status abu-abu seperti hantu di rumah kosong.
Yang membuat rakyat mengangkat alis, bukan soal siapa yang ditangkap, tapi siapa yang tidak. Seperti biasa, KPK tampaknya punya kebiasaan lama: menangkap pion, membiarkan raja. Kepala Dinas? Jelas jadi sasaran empuk.
Mereka itu seperti prajurit lapangan yang disuruh tanda tangan, lalu ditinggal begitu saja oleh atasannya yang kini entah di mana. Mereka bukan dalang, bukan pengambil keputusan utama, bahkan uang hasil korupsinya saja belum tentu mereka rasakan.
Tapi ya begitulah hukum, tajam ke bawah, tumpul ke atas, dan tumpulnya itu bukan tumpul biasa, tapi setajam hati mantan yang sudah move on.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, angkat bicara. Katanya mereka sedang serius menyelidiki aliran dana dan pihak-pihak yang terlibat. Tapi sampai sekarang, siapa yang terlibat itu masih dibungkus misteri, seperti isi gulungan daun lontar zaman Majapahit.
Informasi yang keluar cuma potongan-potongan. Satu pernyataan di TV, satu di media daring, dan sisanya? Silakan tebak sendiri seperti kuis berhadiah kosong.
Publik mulai bertanya-tanya, kenapa KPK begitu garang di daerah, tapi melempem di pusat? Di Jakarta, pusat anggaran, pusat kekuasaan, pusat segala pusat, KPK seperti kehilangan gigi.
Tidak ada penggeledahan megah, tidak ada operasi diam-diam. Padahal, semua orang tahu, korupsi paling brutal justru bersarang di sana. Lalu kenapa hanya daerah yang selalu jadi ladang operasi? Apakah KPK hanya kuat kalau jauh dari gedung DPR? Apakah sinyal keberanian mereka hilang begitu masuk tol dalam kota?
Rakyat menonton ini semua sambil mengunyah pisang goreng. Terhibur, geli, marah, lalu pasrah. Sudah jadi tradisi: setiap tahun ada operasi, ada tangkapan, tapi yang besar-besar tetap bebas merdeka.
Yang kuat tetap kuat. Yang licik tetap jadi panutan. KPK, yang dulu dipuja-puja sebagai garda terakhir antikorupsi, kini perlahan-lahan seperti tokoh sinetron tua, masih tampil, tapi aktingnya tidak lagi menyentuh hati.
Kalau nuan (anda) bertanya, kapan korupsi besar akan ditangkap? Mungkin jawabannya adalah, nanti, kalau sudah tidak penting lagi. Atau kalau sudah pensiun. Atau kalau sudah tidak punya kuasa. Atau mungkin, tidak akan pernah.
Sementara itu, mari kita nikmati episode Kalbar ini. Karena seperti biasa, ending-nya bisa ditebak, pion tumbang, raja diam, dan KPK pulang dengan koper penuh dokumen, dan penuh harapan kosong.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]