Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
DI SLEMAN, sebuah drama berjudul “Pengunduran Diri Utusan Khusus Presiden” dipentaskan dengan aktor utama Gus Miftah.
Dengan latar belakang penuh hikmah, cahaya matahari yang menyinari ruang tengah, tempat Gus Miftah duduk di hadapan kamera, berusaha terlihat penuh keinsafan. Wajah penuh penyesalan.
“Hari ini, dengan segala kerendahan hati, ketulusan, dan kesadaran penuh,” katanya, seolah menggenggam naskah Shakespeare, “saya memutuskan untuk mengundurkan diri.”
Kalimat itu terdengar bak syair elegi seorang tokoh besar yang dipaksa mundur oleh badai maha dahsyat bernama, netizen.
Di hadapan kamera, Gus Miftah sering menyeka air matanya. Ia begitu sedih dan menyesali apa yang telah diucapkan. Beberapa kali ia menyebut nama Presiden Prabowo.
Drama ini sebenarnya sudah dimulai sejak babak pertama, bakul es teh dari Magelang. Nama Sunhaji mendadak menjadi selebriti setelah video Gus Miftah bermain-main dengan martabat sang pedagang es teh viral di jagat maya.
Panggung berubah panas. Gus Miftah, seperti seorang pahlawan tersesat, buru-buru bertandang ke Grabag untuk meminta maaf. Dialognya terdengar manis, seperti sinetron Ramadan. Sunhaji memaafkan, air mata meleleh, dan netizen bersorak kecil.
Namun, takdir atau algoritma punya rencana lain. Babak kedua dimulai dengan video lama yang entah dari mana muncul.
Kali ini, lawannya adalah Yati Pesek, seniman senior yang dihormati. Gus Miftah, dalam cuplikan video itu, diduga melontarkan hinaan fisik kepada Yati. Seolah tidak cukup satu insiden, panggung Gus Miftah kini dipenuhi adegan balas dendam netizen yang lebih memukau dari final Liga Champions.
Jika Napoleon pernah berkata, “Aku lebih takut pada satu pena wartawan dari seribu bayonet,” maka bayangkan Napoleon bertemu dengan netizen. Sosok tanpa wajah, tanpa mahkota, namun mampu mengguncang istana dengan hanya ujung jari.
Gus Miftah, seorang tokoh nasional, akhirnya tunduk pada kekuatan viral. Mereka ini, netizen, adalah prajurit tanpa seragam yang memerintah dengan kekuatan scroll, like, comment, dan share.
Apa yang mereka lakukan pada Gus Miftah? Mereka mengolah video, menyulut emosi, dan menyebar komentar yang lebih pedas dari sambal bawang Sunhaji.
Hasilnya? Seorang Utusan Khusus Presiden yang sebelumnya tak tergoyahkan, kini berdiri dengan hati remuk di depan podium, memohon pengunduran diri.
Jika istana adalah benteng, netizen adalah meriam yang tak terlihat, menembakkan amunisi berupa meme dan cuitan sarkas hingga pertahanan runtuh.
Ironi terbesar dari drama ini adalah jabatan Gus Miftah yang seharusnya menjadi lambang kerukunan. Tapi justru dari hinaan kecil, kerukunan itu hancur bak kartu domino yang dijatuhkan satu per satu.
Apa ini bukti bahwa jabatan besar tak selalu mampu melindungi dari ketajaman algoritma? Atau, mungkin ini peringatan bahwa di zaman ini, dosa kecil di masa lalu bisa meledak lebih keras dari petasan Tahun Baru.
Keputusan Gus Miftah mundur mungkin adalah akhir dari satu episode, tapi jelas bukan akhir dari serial ini. Netizen, bak kritikus seni yang tak kenal ampun, akan terus memutar ulang adegan-adegan ini.
Gus Miftah mungkin akan melanjutkan “pembinaan” di panggung-panggung ceramah lain, tapi bayangan Sunhaji dan Yati Pesek akan selalu menjadi latar belakang yang sulit dihapus.
Oh, Gus, panggung sudah ditutup, tapi drama ini akan terus hidup dalam ingatan netizen. Mereka bukan hanya mengguncang istana, mereka mengajarkan bahwa di era digital, rakyat kecil pun bisa menggerakkan dunia dengan satu klik.
#camanewak