Oleh : Thonang Effendi
[ Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII
Pemerhati dan Praktisi Pendidikan Karakter Generus Bangsa ]
MUDIK Lebaran bukan sekadar perjalanan pulang kampung. Ia adalah kisah rindu yang terbayar, kisah perjuangan yang diceritakan, dan kisah harapan yang terus menyala.
Dari generasi ke generasi, tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan perantau.
Tradisi mudik sudah ada sejak zaman kerajaan di Indonesia, bahkan sebelum Majapahit dan Mataram Islam. Kata “mudik” berasal dari bahasa Jawa, singkatan dari mulih dilik, yang berarti pulang sebentar ke kampung halaman.
Dalam bahasa Melayu, “udik” berarti hulu atau ujung, mengacu pada kebiasaan masyarakat Melayu yang bermigrasi dari hilir ke hulu untuk bertemu sanak saudara.
Istilah “mudik Lebaran” mulai populer pada tahun 1970-an ketika banyak penduduk desa merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta. Sejak saat itu, mudik menjadi ritual tahunan yang dinanti, di mana perjalanan bukan hanya soal fisik, tetapi juga perjalanan hati untuk menyambung silaturrahim dan mengenang masa lalu.
Kisah-kisah Perantau : Dari Perjuangan hingga Keberhasilan
Setiap orang yang merantau memiliki dinamika kehidupan yang berbeda-beda. Hal ini tercermin dalam kisah-kisah yang dibagikan saat berkumpul di kampung halaman. Ada yang pulang dengan mobil baru, hasil kerja keras bertahun-tahun di perantauan.
Ada yang dengan bangga menunjukkan foto rumah yang akhirnya bisa dibangun. Ada pula yang penuh haru karena ini adalah kepulangan pertama setelah bertahun-tahun hanya bisa mengirim kabar lewat telepon, WA dan video call.
Namun, tak semua kisah perantau tentang kemewahan. Ada yang pulang dengan perjuangan panjang, mengumpulkan sedikit demi sedikit dana agar bisa pulang kampung setelah bertahun-tahun merantau. Bahkan, ada yang akhirnya bisa pulang dengan keluarganya, membawa kebanggaan karena tak lagi menyanyikan lirik lagu Armada, “Pulang malu, tak pulang rindu.”
Berbagi Rezeki: Kebahagiaan yang Tak Ternilai
Mudik juga menjadi momen berbagi rezeki dengan sanak famili. Tradisi ini dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai memberi “pitrah”, dengan nominal yang berbeda tergantung siapa yang diberi—orang tua, kakek, nenek, paman, bibi, keponakan, atau tetangga dekat.
Selain itu, ada juga kebiasaan membawa bingkisan atau parcel Lebaran saat berkunjung. Biasanya, yang lebih muda datang berkunjung ke keluarga yang lebih tua atau dituakan.
Momen memberikan “pitrah” bukan sekadar tradisi. Ada perasaan bahagia dan bersyukur ketika tangan ini bisa memberi, ada binar kebanggaan di mata orang tua yang melihat dan mendengar cerita anaknya tumbuh sukses, dan ada harapan bahwa keberkahan ini akan terus mengalir.
Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Adh-Dhuha ayat 11: “Wa ammâ bini‘mati rabbika fa ḫaddits” yang artinya “Terhadap nikmat Tuhanmu, ceritakanlah.” Nyatakanlah nikmat dengan bersyukur.
Kesuksesan yang Terus Berkembang
Di sisi lain, kesuksesan yang diraih saat ini tentu ingin terus ditingkatkan. Seperti prinsip Kaizen, hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Prinsip ini mendorong setiap perantau untuk melakukan perbaikan terus-menerus (continuous improvement) dalam kehidupan mereka.
Mengutip perkataan Peter Drucker, Bapak Manajemen Modern, “If you can’t measure it, you can’t manage it.” Maka, setiap orang perlu menetapkan target sukses yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya, sesuai dengan potensi yang dimiliki. Goal setting harus direncanakan, dijalankan, dimonitoring, dan dievaluasi dengan cermat agar sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
Mandiri : Pilar Kesuksesan di Perantauan
Di era teknologi saat ini, kemandirian finansial menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan spiritual. Semua aspek kehidupan membutuhkan biaya, dan di sinilah karakter kemandirian perlu ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini selaras dengan konsep Tri Sukses, bagian dari 29 Karakter Luhur yang dikembangkan oleh LDII, khususnya sukses ketiga yaitu Mandiri. Setiap individu perlu memiliki keterampilan (skills) dan kecakapan hidup (life skills) agar mampu menghasilkan penghidupan yang cukup untuk menopang kehidupan dunia dan akhiratnya.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani:“Ketika zaman akhir, maka tidak bisa tidak (pasti) bagi manusia memiliki dirham dan dinar untuk menegakkan agama dan dunianya.” Dalam konteks ini, kemandirian finansial adalah sebuah keniscayaan.
Mudik : Puncak dari Perjuangan yang Tak Terlihat
Ibarat gunung es, fenomena gebyar mudik Lebaran adalah puncak yang terlihat. Di dalamnya terdapat banyak perjuangan, pengorbanan waktu, pikiran, dan tenaga untuk mengumpulkan dana yang cukup agar bisa pulang kampung dengan kepala tegak, senyum bahagia, dan penuh rasa percaya diri.
Sambil menikmati perjalanan sebelum sampai tujuan, ada pemudik yang sudah menyusun rencana kegiatan selama di kampung halaman. Bahkan, ada yang sudah merencanakan: tahun depan, kisah sukses apa yang bisa saya bagikan?
Apa yang bisa saya bantu untuk sanak famili di kampung halaman?
Mudik bukan hanya perjalanan pulang. Ia adalah perjalanan hati, perjalanan harapan, dan perjalanan untuk berbagi. Tahun ini, kita berbagi kisah.
Tahun depan, kisah sukses apa yang ingin kita ceritakan?