BPJS : Bola Pingpong Jalur Siksaan

1 week ago 13

FOTO : ilustrasi warg menangis [ ist ]

DI TANAH yang katanya subur makmur loh jinawi, seorang rakyat kecil bernama Ali Suhardi (47) dari Desa Mak Tanggok, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, sedang menjalani sebuah petualangan medis yang bahkan Tolkien pun tak sanggup menulisnya.

Ini bukan kisah dongeng. Ini bukan sinetron azab. Ini adalah kisah nyata, kisah darah dan air mata, kisah rakyat miskin yang mencoba mencari kesembuhan… tapi malah ditendang ke sana-sini oleh sistem yang katanya “peduli.”

Ali, yang punya saraf terjepit, dan setelah ini, mungkin juga jiwa yang ikut terjepit, memulai langkahnya dengan penuh harap. Ia tidak meminta disambut karpet merah.

Tidak menuntut AC di ruang tunggu atau perawat yang wangi lavender. Ia cuma ingin sembuh. Itu saja. Tapi harapan itu remuk saat ia masuk ke dalam labirin yang disebut, Rujukan Sistem Neraka (RSN).

Dari RSUD Pemangkat, ia dilempar ke RSUD Abdul Aziz Singkawang. Lalu dilempar lagi ke Rumah Sakit Kartika Husada di Kubu Raya. Sudah seperti batu dalam permainan Congklak. Tapi ini bukan main-main, ini hidup orang.

Tiba di RS Kartika Husada dengan surat rujukan yang ditandatangani, dicap, dan mungkin sudah disiram air zamzam, Ali malah disambut kalimat sakti:

“Maaf Pak, antrean penuh. Silakan kembali lima hari lagi.”

Lima hari. Padahal jarak dari rumah ke rumah sakit itu 7 jam perjalanan darat. Ini bukan jalan santai sore. Ini ekspedisi ala Indiana Jones. Dengan saraf kejepit dan anak-istri yang ikut. Uang bensin? Entahlah, mungkin harapan bisa dijadikan bahan bakar mobil. Kalau bisa, rakyat miskin sudah menciptakan energi terbarukan dari penderitaan.

Lima hari kemudian, dengan semangat sisa dan punggung berderit macam pintu tua, Ali kembali. Tapi apa yang ia dapat? Bukannya pengobatan, ia malah dilempar balik ke RS Abdul Aziz Singkawang hanya untuk… Surat Bius.

Iya, bius! Karena MRI membutuhkan posisi tidur 45 menit, dan Ali hanya mampu rebahan lima menit sebelum tubuhnya berteriak seperti film horor.

Bius, katanya. Tapi surat bius, harus dari rumah sakit asal. Rumah sakit asal, bilang, “Kami tidak bisa keluarkan, Pak. Silakan pindah ke RS lain. Tapi non-BPJS ya.”

Apa?!

Sudah ikut sistem, disuruh keluar dari sistem? Ini seperti disuruh main game, lalu di tengah permainan, wasit bilang, “Maaf, joystick-nya nggak boleh dipakai. Pindah game lain, tapi harus beli token sendiri.”

Ita Rosita, istri Ali, juga mulai kehilangan kesabaran. Dengan wajah lelah, ia bertanya, “Kalau butuh surat tambahan, kenapa tidak diberi tahu dari awal? Kami ini bukan peri-peri yang bisa terbang ke rumah sakit dalam lima menit. Ini perjalanan panjang, mahal, dan menyakitkan.”

Tapi sistem tidak menjawab. Sistem hanya bergeming, diam seperti tembok birokrasi yang sudah dilapisi cat anti-empati. Bayangkan! Di negeri yang katanya gotong royong, pasien malah digotong bolak-balik.

BPJS singkatan yang makin hari makin mirip, “Bola Pingpong Jalan Sakit.” Pemeriksaan tidak jadi. Obat tak diberi. Yang ada hanya fotokopi, cap, tanda tangan, dan ekspresi “maaf prosedurnya begitu, Pak.” Kalau prosedur bisa menyembuhkan, mungkin rakyat sudah sehat semua.

Lucunya, belum ada yang muncul untuk bertanggung jawab. Rumah sakit masih “mengonfirmasi.” BPJS masih “mengumpulkan data.” Sementara Ali dan ribuan orang lain mungkin sedang duduk di warung, memegang punggung yang nyeri dan dompet yang kosong.

Negara katanya hadir. Tapi yang hadir cuma antrean dan ketidakpastian. Kalau ini bukan pengabaian sistematis, apa namanya?

Saya menulis ini bukan untuk drama. Karena drama bisa selesai dalam satu episode. Tapi bagi rakyat seperti Ali, dramanya tayang setiap hari. Tanpa jeda iklan. Tanpa akhir bahagia.

#camanewak

Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |