Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
BEBARAPA hari lalu saya sudah mengenalkan cara kerja money laundry, dan mafia bola. Kali ini, cara kerja mafia hukum. Sambil mencari tukang cukur, maklum mau lebaran, kita kupas sindikat hukum yang membuat negeri ini sulit mencari keadilan.
Selamat datang di Indonesia. Negeri di mana keadilan adalah sebuah konsep abstrak. Negeri yang sering kali terjebak di antara tebalnya lembaran rupiah dan senyum sinis para pemain hukum. Kalau ente pikir hukum di negeri ini berjalan lurus dan tegas, selamat! Ente tinggal di semesta paralel yang berbeda dari kenyataan.
Di sini, hukum adalah bahan dagangan, dan pengadilan adalah pasar malam di mana semua barang bisa ditawar. Ya, mulai dari vonis bebas hingga hukuman seumur hidup. Tergantung isi dompet dan siapa yang pegang kendali remote.
Mari kita telusuri cara kerja mafia hukum di negeri +62 ini, yang lebih canggih dari skenario film mafia Italia. Bedanya, di sini nggak perlu pistol atau mobil mewah. Cukup kertas berwarna merah atau hijau, dan semuanya beres!
Pertama, Suap dan Gratifikasi. Pernah dengar pepatah “uang bukan segalanya”? Di dunia hukum Indonesia, pepatah ini nggak berlaku. Di sini, uang adalah segalanya. Mau jadi tersangka tapi bebas? Gampang, tinggal slip amplop tebal ke tangan yang tepat.
Vonis mati jadi bebas? Tinggal upgrade dari amplop jadi koper. Kalau koper masih kurang, tinggal tambahin bonus liburan ke Maldives, beres! Siapa yang butuh pengacara handal kalau ente punya koneksi langsung ke tukang stempel putusan?
Kedua, Pengaturan Kasus (Case Fixing). Kalau ente pikir pengadilan itu tempat serius penuh integritas, maka ente belum pernah lihat bagaimana pengaturan kasus bekerja. Di sini, kasus bisa diatur hasilnya bahkan sebelum sidang dimulai.
Pengacara nggak perlu repot menyusun argumen hukum, cukup duduk di kafe, pesan kopi, lalu bisik-bisik manja ke hakim. Dalam hitungan hari, hasil putusan bisa diatur sesuai pesanan. Kalau kliennya kelas kakap, bisa jadi si hakim udah nyusun draft putusan sambil rebahan di pantai Bali.
Ketiga, Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Punya musuh politik atau saingan bisnis? Jangan khawatir, mafia hukum siap membantu! Tinggal kasih tahu nama target, kirim transfer awal, dan lihat bagaimana orang itu tiba-tiba jadi tersangka kasus korupsi fiktif.
Sebaliknya, kalau ente tertangkap tangan korupsi triliunan, nggak usah panik. Kalau bayarannya cocok, status tersangka bisa tiba-tiba menguap seperti embun di pagi hari. Hukum di sini fleksibel, kayak permen karet, bisa ditarik ke segala arah sesuai kebutuhan.
Keempat, Permainan Barang Bukti. Barang bukti di Indonesia itu kayak hantu. Ada tapi nggak kelihatan, atau tiba-tiba muncul dari tempat yang nggak terduga. Kalau ente terseret kasus, jangan panik. Bukti bisa dihapus, dihilangkan, atau kalau perlu, dicetak ulang sesuai kebutuhan.
CCTV yang merekam kejahatan bisa tiba-tiba rusak. Dokumen penting bisa kebetulan “terbakar” karena konsleting. Saksi kunci? Bisa tiba-tiba hilang karena “jalan-jalan” ke luar negeri dengan tiket tanpa tanggal pulang. Ajaib, kan?
Kelima, Penundaan atau Percepatan Proses. Kalau ente nggak mau kasusmu diangkat media, tinggal mainkan jurus delay. Tunda-tunda sidang sampai semua orang lupa. Tapi kalau ente buru-buru mau bebas, tinggal bayar percepatan.
Proses yang biasanya makan waktu bertahun-tahun bisa dipangkas jadi seminggu. Ada jalur VIP di pengadilan, wak! Yang satu lewat pintu rakyat jelata, yang satu lagi pakai eskalator khusus ke ruang sidang eksekutif.
Keenam, Intervensi dari Pihak Eksternal. Pernah dengar istilah “telepon dari orang atas”? Itu bukan mitos. Satu panggilan dari pejabat tinggi bisa bikin kasus besar tiba-tiba lenyap kayak debu tertiup angin. Siapa bilang hukum nggak bisa diatur? Satu kali angkat telepon, satu keputusan pengadilan bisa langsung berubah.
Si tersangka korupsi bisa bebas, bahkan diantar pulang pakai mobil dinas. Kalau ente bingung kenapa keadilan terasa berat sebelah, mungkin karena di telinga hakim masih terngiang suara, “Jangan lupa, kita satu atap, ya…”
So, kalau ente merasa keadilan di Indonesia sulit dicapai, ya… memang begitu kenyataannya. Hukum di sini bukan soal benar atau salah, tapi soal siapa yang punya akses ke kekuatan dan uang.
Kalau ente rakyat jelata, nasibmu ditentukan oleh mood aparat dan saldo rekening mereka. Tapi kalau ente orang kaya, atau punya backing politik kuat, hukum itu nggak lebih dari sekadar formalitas.
#camanewak