Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
OKNUM LAGI. Oknum kok sering. Oknum kok banyak. Inilah yang terjadi dengan oknum polisi. Namanya, Kompol Ramli mencoreng nama polisi dengan aksi koboinya, memeras kepala sekolah.
Sambil menunggu beduk magrib, yok kita kupas oknum perwira korp baju cokelat ini.
Dahulu, namanya disegani. Seorang perwira polisi berkarisma. Dada membusung penuh kebanggaan. Kompol Ramli Sembiring, sang penjaga keadilan, sosok yang (konon katanya) tak tergoyahkan oleh uang haram.
Dalam seragamnya yang rapi, ia melangkah gagah di koridor hukum, menggelorakan semangat antikorupsi di hadapan publik. Sebuah representasi dari hukum yang adil, tegas, dan tanpa kompromi.
Sampai akhirnya, topeng itu jatuh. Bukan oleh pukulan musuh, tapi oleh kerakusan dirinya sendiri. Bersama rekannya, Brigadir Bayu, Kompol Ramli menjalankan skema pemerasan yang begitu menjijikkan.
Modusnya? Aduan masyarakat fiktif (dumas). Sebuah sandiwara murahan yang mereka ciptakan untuk menjebak kepala sekolah yang tak berdosa.
Dengan kedok investigasi korupsi, mereka menyeret 12 kepala sekolah ke dalam jeratnya. Para pendidik yang seharusnya fokus membangun generasi emas malah diperas habis-habisan. Uang yang diperas bukanlah sekadar recehan.
Tidak. Ini Rp4,75 miliar! Ya, miliaran rupiah yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik tahun 2024. Ini seharusnya untuk pendidikan, malah berpindah ke kantong perwira busuk ini.
Tangan mereka begitu cekatan dalam menyusun skenario. Laporan palsu dibuat, ancaman dilayangkan, dan kepala-kepala sekolah dipaksa menyerahkan ‘fee’ 20% dari anggaran mereka. Bayangkan! 20% dari dana yang seharusnya untuk fasilitas anak-anak bangsa malah dijadikan upeti bagi aparat serakah.
Para pendidik yang bekerja mati-matian membangun negeri, justru menjadi sapi perah oleh mereka yang seharusnya melindungi.
Begitulah, sang penegak hukum pun jatuh ke lubang yang dulu ia berjanji akan ratakan. Bukan musuh yang menjebaknya, bukan koruptor kelas kakap yang menumbangkannya, tetapi kerakusan yang menjalar di tubuhnya sendiri.
Hanya demi uang haram, ia menanggalkan kehormatannya, menukar jubah pengayom dengan peran bandit berlisensi.
Kini, seperti babak akhir drama murahan, nama Kompol Ramli tak lagi dielu-elukan. Ia bukan lagi sosok yang disegani, melainkan simbol kebusukan sistem yang menggerogoti negeri.
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) pun menjadi kado pahit atas pengkhianatannya terhadap hukum. Kini, ia berdiri di ujung jurang kejatuhan, ditatap dengan penuh kebencian oleh masyarakat yang dulu mempercayainya.
Namun, apakah cukup hanya dengan pemecatan? Apakah cukup hanya dengan peradilan yang berjalan lamban seperti siput di lumpur? Tidak! Ini bukan sekadar kasus individu. Ini adalah tamparan keras bagi sistem yang membiarkan kejahatan tumbuh subur dalam seragam.
Jika Kompol Ramli bisa melakukan ini, berapa banyak lagi ‘Ramli-Ramli’ lain yang masih bersembunyi di balik lencana?
Publik tidak butuh janji manis, tidak butuh drama pencitraan, tidak butuh sandiwara penyesalan. Yang dibutuhkan adalah keadilan nyata. Bukan sekadar mencopot pangkat, tetapi mengadili tanpa ampun! Hukum tidak boleh lagi tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Jika kepala sekolah yang ketahuan korupsi langsung diseret, maka polisi busuk yang memeras rakyat harus mendapat ganjaran yang lebih keras. Penjara seumur hidup? Sangat layak. Penyitaan aset? Sudah seharusnya.
Biarkan ia merasakan bagaimana rasanya kehilangan semua yang pernah ia miliki, karena itulah yang telah ia lakukan terhadap bangsa ini.
Hari ini, satu serigala berbulu domba telah terungkap. Tapi jangan puas dulu, karena mungkin masih banyak serigala lain yang berkeliaran, menunggu saat yang tepat untuk mencengkeram korban berikutnya.
Indonesia, kapan kau benar-benar bersih dari pengkhianat semacam ini?
#camanewak