Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu bingung penerimaan pajak dari komponen pajak lainnya berpotensi mengalami kenaikan pesat hingga akhir 2025.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan dokumen Prognosis APBN Semester II Tahun 2025, setoran pajak lainnya diramal bisa capai Rp 109,3 triliun sampai akhir 2025, atau sekitar 1.301,2% dari target awal yang dipatok Rp 7,8 triliun.
"Pajak lainnya itu apa maksudnya ya? enggak tahu ya, enggak ada pajak lainnya itu ya, saya coba cek dulu ya," kata Anggito saat ditemui di kawasan Gedung DPR, Jakarta, Senin (14/7/2025).
Sebagaimana diketahui, pajak lainnya memang menjadi komponen dengan nilai terkecil dalam target awal, namun akan menjadi setoran yang paling optimal pada tahun ini, selain setoran pajak bumi dan bangunan yang juga diramal naik dari target Rp 27,1 triliun menjadi Rp 30,1 triliun.
Adapun komponen pajak lainnya yang melorot di antaranya pajak penghasilan (PPh) dari target Rp 1.209,3 triliun menjadi hanya Rp 1.041,6 triliun, serta PPN dan PPnBM dari Rp 945,1 triliun menjadi hanya Rp 895,9 triliun.
Kepala Riset Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menduga, pemerintah akan mengandalkan deposit pajak dari ramalah peningkatan komponen pajak lainnya itu.
"Penerimaan pajak lainnya meningkat signifikan akibat deposit pajak, ini sebagai dampak dari implementasi core tax maupun sistem core tax yang belum stabil," kata Fajry kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (8/7/2025).
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, penerimaan pajak lainnya memang mengalami peningkatan pesat selama Semester I-2025 karena deposit pajak. Penerimaan pajak lainnya pada paruh pertama tahun ini mencapai Rp 61,33 triliun atau 786,7% terhadap target APBN 2025. Bahkan, realisasi itu tumbuh 1.550,6% dibanding periode yang sama pada 2024 sebesar Rp 3,7 triliun.
Namun, pakar pajak yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengingatkan, bila merujuk UU APBN 2025 (UU No. 62/2024) dan Perpres 201/2024, jenis Pajak lainnya yang dikelola Ditjen Pajak masih ada Bea Meterai. Maka, ia menduga peningkatan ini bisa dipicu setoran dari bea meterai.
"Banyak dokumen transaksi yang harus dikenakan Bea Meterai, termasuk dokumen elektronik dan smart contracts yang ada di aplikasi-aplikasi. Semuanya dilunasi dan dilaporkan melalui Coretax," tutur Prianto.
Sementara itu, Pakar Pajak yang juga merupakan Co-Founder Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menganggap sebenarnya potensi Bea Meterai tidak banyak selama ini dalam mendulang penerimaan.
"Karena dari Ditjen Pajak juga pengawasannya kurang. Bea Meterai didistribusikan oleh PT Pos. Termasuk yang Bea Meterai elektronik. Sehingga, kalau mau menaikkan target Bea Meterai dari sisi Ditjen Pajak tidak bisa," papar mantan Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak itu.
"Selama ini yang dikejar oleh Ditjen Pajak lebih banyak penerimaan PPh dan PPN. Penerimaan PBB non-PBB P2 hanya ada di beberapa KPP. Itu juga jarang jadi tumpuan penerimaan," tegasnya.
Oleh sebab itu, dia menduga akan ada faktor lain yang mendorong penerimaan pajak lainnya sampai akhir tahun, di antaranya penyelenggaraan kembali tax amnesty yang bisa jadi masuk ke komponen pajak lainnya.
"Tax amnesty disebut uang tebusan, bukan PPh atau PPN. Walaupun objek tax amnesty sebenarnya objek PPh, mudah-mudahan saja ada tax amnesty akhir tahun 2025. Tapi kalau pajak karbon direalisasikan juga mungkin dari pajak karbon, karena sampai dengan sekarang pajak karbon belum diimplementasikan," tegas Raden.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: APBN Kantongi Rp 33,39 T Pajak Kripto-Pinjol di Akhir Januari