FOTO : ilustrasi prajurit TNI berjaga-jaga [ ist ]
AGAK -agak takut nulis ini, wak. Jangankan saya, kejaksaan saja ketar-ketir. Sekadar informasi saja sih, bahwa tentara dikerahkan untuk menjaga seluruh kejaksaan di Indonesia.
Kok, bisa! Ingin tahu jawabannya, siapkan kopi dan ikuti narasi ini sampai tuntas.
Pada suatu pagi yang tampaknya tenang, burung-burung berkicau seperti biasa, para pegawai kejaksaan masih menyeruput kopi sachet di ruang lobi, dan rakyat biasa masih sibuk bertanya-tanya kenapa harga telur naik lagi.
Tapi di balik semua itu, semesta kebangsaan kita tengah menyusun babak baru dari drama negara modern, pengerahan tentara untuk menjaga kantor kejaksaan se-Indonesia Raya.
Ya. Ini bukan skenario film aksi berjudul “Jaksa Terakhir: Diselamatkan oleh Tentara”, melainkan surat telegram resmi bernomor ST/1192/2025, yang diturunkan dari langit birokrasi oleh Kepala Staf Angkatan Darat.
Dengan penuh ketegasan dan kesakralan administratif, surat itu memerintahkan pengerahan satu SST, tiga puluh prajurit, untuk setiap kantor kejaksaan tinggi, dan satu regu, sepuluh prajurit, untuk setiap kejaksaan negeri. Tak dijelaskan musuhnya siapa, tapi kita semua tahu, musuh terbesar adalah rasa penasaran.
Tentu saja publik bergeming. Sebagian terkejut. Sebagian pura-pura paham. Sebagian lagi memilih pasrah sambil menonton sinetron. Tapi seperti biasa, penjelasan datang dari langit kedua, melalui Kapuspen TNI Mayjen Kristomei Sianturi. Katanya, ini hal biasa.
Ini preventif. Ini rutin. Ini seperti kita rutin lupa bahwa negara ini kadang terlalu rajin melakukan hal-hal yang tidak jelas tapi meyakinkan.
Namun kini, langit ketiga bersuara. Kejaksaan Agung turut menegaskan, benar, ada tentara. Benar, mereka menjaga. Benar, ini kerja sama. Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar muncul bak juru bicara dua dunia, hukum dan militer.
Dalam keterangannya yang lebih terdengar seperti kalimat diplomasi galaksi, Harli berkata, “Iya benar, ada pengamanan yang dilakukan oleh TNI terhadap Kejaksaan hingga ke daerah… bentuk kerja sama.” Singkat, padat, dan tetap tidak memberi tahu kenapa sebenarnya perlu dijaga.
Harli menambahkan bahwa ini adalah dukungan TNI terhadap tugas-tugas Kejaksaan. Tugas yang dimaksud tidak dijelaskan. Tapi kita boleh membayangkan. Mungkin tugasnya sedang berat.
Mungkin banyak berkas yang menakutkan. Mungkin banyak nama besar yang belum boleh jatuh. Maka tentara harus datang. Agar pintu tidak dibuka sembarangan. Agar CCTV tetap menyala. Agar suasana lebih… berwibawa.
Ini adalah sinergi dua institusi besar, jaksa dan tentara. Satu memegang hukum, satu memegang senjata. Keduanya kini berpelukan erat dalam semangat kebangsaan yang absurd dan metafisik. Saking netralnya kerja sama ini, rakyat dibuat netral juga, bingung mau komentar dari mana.
Seperti biasa, semua dilakukan demi keamanan. Demi stabilitas. Demi negara. Demi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan tapi sangat meyakinkan. Kita tidak tahu ancamannya apa, tapi solusinya selalu militer. Seperti dokter yang langsung amputasi tanpa tanya dulu kenapa pasien batuk.
Kita pun diminta untuk tenang. Untuk percaya. Untuk yakin bahwa semuanya baik-baik saja, meski dijaga tentara. Ketika akal sehat mulai gelisah, kita hanya bisa bergumam sendiri,
“Jika jaksa dijaga tentara, lalu siapa yang jaga akal kita? Kalau semuanya sinergi, lalu siapa yang kontrol siapa? Kalau tentara bisa jaga kantor hukum, mungkinkah suatu hari nanti mereka juga jaga suara hati nurani kita?”
Pada akhirnya, seperti biasa, kita hanya bisa diam, menatap ke langit birokrasi, dan berdoa, semoga surat telegram berikutnya bukan tentang kita.
Foto Ai hanya pemanis saja, bukan peristiwa sebenarnya
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalbar ]