Kasus Oplosan Dibongkar, Ekonomi Beras Konglomerat Kembali ke Rakyat

3 weeks ago 11

Jakarta, CNBC Indonesia- Beras selalu menjadi cermin kondisi bangsa, simbol denyut nadi ekonomi sekaligus kedaulatanpangan. Kasus beras oplosan yang menyeruak pada Agustus 2025 telah menjadi titik balik dalam lanskap pangan Indonesia.

Berawal dari temuan Kementerian Pertanian (Kementan) mengenai beras premium tak sesuai mutu, aparat penegak hukum bergerak cepat.

Satgas Pangan Polri menetapkan sejumlah direksi perusahaan besar sebagai tersangka, dengan dugaan praktik pencampuran beras murah dan pelabelan palsu yang merugikan konsumen hingga triliunan rupiah. Gonjang-ganjing ini langsung mengguncang industri penggilingan padi, dari skala besar hingga kecil, yang banyak menghentikan produksi sementara.

Miss Labelisasi terjadi, premium di kemasan, namun murahan di kualitas. Rakyat dirugikan triliunan rupiah, sementara konglomerat menuai laba.

Dampaknya langsung terasa di lapangan. Ratusan penggilingan padi, baik besar maupun kecil, terpaksa menghentikan operasional.

Penggilingan Padi di Indonesia

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia sebanyak 169.789 usaha. 

Sebanyak 161.401 penggilingan tersebut atau 95,06% berskala kecil.

Penggilingan padiFoto: BPS
Penggilingan padi

Skala usaha penggilingan padi ditentukan berdasarkan kapasitas produksi terpasang atau kondisi kemampuan mesin penggilingan padi yang digunakan oleh usaha/perusahaan.

Dari 169.789 usaha penggilingan padi di Indonesia pada 2020, sebanyak 161.401 usaha atau sekitar 95,06% adalah penggilingan padi skala kecil. Mereka memproduksi beras kurang dari 1,5 ton per jam.

Sebanyak 7.332 usaha atau sekitar 4,32% merupakan usaha penggilingan padi skala menengah, yang umumnya memiliki mesin dengan kapasitas besar, terintegrasi dan modern. Biasanya merupakan perusahaan yang mempunyai bahan baku dan tujuan pemasaran yang tetap. Kemampuan produksi beras mencapai 1,5 sampai 3 ton per jam.

Selebihnya, dalam jumlah relatif sangat kecil, yaitu sebanyak 1.056 usaha atau 0,62% adalah penggilingan padi skala besar. Penggilingan skala besar umumnya adalah usaha berbadan hukum dan mempunyai jangkauan pemasaran yang luas.

Hasil survei BPS pada pendataan 2012 dan 2020 menunjukkan adanya penurunan 6,81% dibandingkan pada 2012 sebanyak 182.199 usaha atau berkurang lebih dari 12.000 usaha penggilingan padi.

Selain berkurangnya lahan pertanian, persaingan antar pengusaha penggilingan padi juga menjadi penyebab berkurangnya jumlah usaha penggilingan padi. Usaha penggilingan padi skala kecil harus mengalah dan tutup karena terbatasnya modal usaha terutama untuk memperoleh gabah dari daerah lain sehingga hanya mengandalkan produksi gabah di daerahnya.

Selain itu, penerapan Harga Eceran tertinggi (HET) juga membuat penggilingan padi di sejumlah daerah berhenti beroperasi karena menghindari kerugian akibat makin tipisnya selisih harga gabah di pasaran dan HET.

Ketua Perpadi, Sutarto Alimoeso, mengakui banyak pengusaha berhenti menggiling karena tak sanggup menjual sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, sementara harga gabah terus menanjak.

"Dengan Rp6.500 saja sudah tidak masuk HET. Apalagi gabah naik," keluhnya. Kondisi ini menegaskan betapa rapuhnya struktur industri beras: mayoritas dikerjakan pelaku kecil, tetapi harga ditentukan permainan segelintir.

Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan hanya pelaku curang yang akan ditindak, sementara petani dan penggilingan yang bekerja sesuai aturan dijamin aman.

Pesan ini penting untuk meredam kepanikan pelaku usaha kecil yang takut jadi korban salah tangkap. Namun, keresahan sudah telanjur merebak. Mesin penggilingan berhenti, stok di pasar modern seret, dan masyarakat kehilangan kepercayaan pada merek besar.

Akibatnya, pola belanja bergeser. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengamati, konsumen kini lebih memilih pasar tradisional dibanding ritel modern.

Angin segarnya, pergeseran ini, walau lahir dari krisis, justru menghidupkan kembali denyut ekonomi rakyat.

Pasar basah, yang lama tersisih, kembali jadi tumpuan karena dianggap lebih jujur dan dekat dengan konsumen. Ironisnya, di saat pasar rakyat menemukan momentumnya, jaringan ritel modern yang memiliki lebih dari 54 ribu gerai justru terjepit ada desakan pemerintah pusat untuk tetap menjual merek yang terseret kasus, sementara sebagian pemerintah daerah meminta produk itu ditarik.

Di tengah kekacauan distribusi itu, publik mendapati anomali lain yakni stok cadangan nasional sebenarnya berlimpah.

Bulog mencatat persediaan lebih dari 4,2 juta ton, level tertinggi dalam sejarah. Namun harga tetap melambung hingga Rp17.000/kg, meski kualitas beras di pasaran rendah dengan kadar patah 30-59%.

"Ini penipuan terhadap konsumen sebesar Rp5.000/kg. Jika dijual 2 juta ton, kerugian mencapai Rp10 triliun," tegas Debi Syahputra dari Aliansi Masyarakat Penyelamat Pertanian Indonesia (AMPPI). Ia menuding kartel pangan sengaja menahan pasokan dan membeli gabah di atas harga pasar untuk mematikan penggilingan kecil.

Presiden Prabowo Subianto melihat masalah ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan ekonomi.

Dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR/DPR 2025, Prabowo melontarkan ultimatum keras tak ada lagi orang kaya atau konglomerat yang boleh bertindak seenaknya di sektor pangan. Dengan mengutip Pasal 33 UUD 1945, Prabowo memastikan cabang produksi vital harus berada di bawah kendali negara.

Ia bahkan mengumumkan kebijakan baru, penggilingan beras skala besar wajib mendapat izin khusus dari pemerintah atau diserahkan ke BUMN/BUMD.

Langkah ini menandai perubahan arah. Setelah puluhan tahun Indonesia berkutat dengan defisit beras dan impor, kini negeri ini justru surplus. Cadangan beras nasional lebih dari 4 juta ton, bahkan ekspor kembali dilakukan.

Sejarah panjang produksi padi Indonesia sebenarnya menunjukkan pola naik-turun yang kontras dengan kondisi lapangan saat ini.

Pada era Revolusi Hijau awal 1980-an, produksi melonjak dari 29,65 juta ton GKG (1980) menjadi 37,46 juta ton pada 1984, tonggak swasembada pertama di bawah Soeharto.

Tren terus membaik hingga puncak 2017 yang mencatat 81,15 juta ton tertinggi sepanjang sejarah. Namun koreksi data BPS dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA) pada 2018 menurunkan angka riil menjadi 59,20 juta ton, memperlihatkan kapasitas yang jauh lebih moderat.

Dalam lima tahun terakhir, tren makin mengkhawatirkan. Produksi padi yang pada 2019 mencapai 55,60 juta ton terus merosot menjadi 53,14 juta ton di 2024, turun 838 ribu ton hanya dalam setahun.

Penyebab utamanya adalah hilangnya 167 ribu hektare lahan panen akibat alih fungsi dan dampak iklim. Ironisnya, di tengah penurunan produksi dan kerentanan pasokan inilah, kartel justru bermain harga, sehingga surplus stok tidak otomatis menenangkan pasar.

Bagi sebagian pihak, krisis ini adalah tragedi. Namun bagi petani kecil dan pasar tradisional, ia justru membuka peluang. Dengan masyarakat beralih ke jalur distribusi rakyat, keuntungan tak lagi sepenuhnya tersedot ke korporasi besar. mampukah momentum ini dijaga?

Jika pemerintah benar-benar konsisten menindak mafia pangan, memperkuat Bulog sebagai penyeimbang, dan memberi ruang bagi penggilingan kecil, maka Ia bisa menjadi koreksi sejarah.

Ekonomi beras tak lagi berputar di lingkaran konglomerat, melainkan kembali ke pangkuan rakyat yang menanam, menggiling, dan membeli.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae/mae)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |