FOTO : Benz Jono Hartono [ ist ]
*Awalan*
DEMOKRASI Mayoritas, Tapi Minoritas yang Menikmati
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibangun di atas darah dan keringat mayoritas umat Islam.
Mereka yang gugur di medan perang kemerdekaan, mereka yang memelopori pendidikan rakyat, dan mereka pula yang memenuhi jalanan setiap kali negeri ini terancam.
Namun aneh bin ajaib, seolah ada kutukan tak kasatmata: selama penduduk negeri ini tetap mayoritas Muslim, justru kehidupan makin pelik, semua sektor seolah-olah “didesain” agar umat ini tetap di pinggiran.
Apakah ini hanya perasaan? Atau justru kenyataan yang selama ini ditutup-tutupi oleh narasi media, algoritma digital, dan sistem hukum yang katanya netral tapi diam-diam menekan?
*1. Pendidikan Islam Masuk Kelas Belakang*
Dunia pendidikan di Indonesia sudah lama dijadikan ladang eksperimen kurikulum gonta-ganti. Tapi satu yang nyaris tak berubah: nilai-nilai Islam semakin dikebiri. Pendidikan agama dianggap sekadar pelengkap.
Ustadz dan guru ngaji di desa-desa yang tulus justru kalah oleh guru-guru “berstandar internasional” yang mengajarkan moral universal—tanpa tauhid.
Sekolah berbasis Islam disudutkan dengan label intoleran, padahal yang mencetak koruptor, mafia anggaran, dan pembajak APBN bukanlah pesantren.
*2. Ekonomi, Sistem Ribawi, Umat Ditekan Lewat Utang*
Selama sistem ekonomi negeri ini bertumpu pada bunga bank dan korporasi kapitalis, umat Islam yang kebanyakan hidup di lapisan ekonomi bawah selalu jadi korban. Pinjaman mikro menjebak petani dan pedagang kecil dalam pusaran utang.
Ekonomi syariah? Dibiarkan tumbuh asal tidak membesar. Lembaga zakat? Dipajaki. Sementara itu, proyek-proyek besar justru diberikan pada konsorsium luar negeri. Rakyat cukup diberi pinjaman KUR dan mimpi untuk “naik kelas”.
*3. Politik, Mayoritas Tapi Bukan Penguasa*
Umat Islam sering jadi bahan rebutan suara saat Pemilu, tapi setelah pemilu, suara mereka tenggelam di lautan lobi-lobi istana. Simbol keislaman dilarang masuk kantor pemerintahan, tetapi simbol-simbol asing justru dipajang demi toleransi.
Ormas Islam ditekan, dikriminalisasi, dan dicap radikal, padahal tak sedikit tokoh agama yang ingin mengajak umat pada cinta Tanah Air dan akhlak luhur. Ironisnya, justru yang keras pada Islam dibiarkan, diberi panggung, bahkan difasilitasi untuk “meluruskan” arah umat.
*4. Hukum, Umat Islam Jadi Terdakwa Abadi*
Ketika pelaku kriminal dari golongan elite melakukan penipuan, korupsi, atau penggelapan, hukum bisa lentur.
Tapi ketika seorang ustadz bicara tentang amar makruf nahi mungkar, cepat sekali jerat UU ITE bekerja. Bahkan niat berjihad untuk kebaikan bangsa bisa ditafsirkan sebagai ancaman negara.
Hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, tetapi senjata yang diarahkan ke arah umat yang ingin menghidupkan nilai-nilai Islam secara kaffah.
*5. Media dan Budaya Islam Dijadikan Objek, Bukan Subjek*
Media nasional lebih suka menayangkan acara mistik daripada dakwah. Umat Islam dianggap lucu saat menjadi meme, tapi dianggap bahaya saat mulai bersatu.
Algoritma digital global membuat suara Islam terpinggirkan, dipotong, dibatasi distribusinya. Budaya Islam diidentikkan dengan Arabisasi, sementara budaya Barat diklaim modern dan progresif.
Padahal, nilai-nilai Islam sudah menyatu dengan akar budaya Nusantara sejak lama tapi kini sedang direnggut perlahan-lahan oleh tangan yang tak tampak.
*Akhiran*
Kenapa Sulit? Karena Islam Masih Mayoritas Semua ini bukan terjadi karena ketidaksengajaan, tetapi karena ada skenario global dan nasional yang tak ingin Indonesia yang mayoritas Islam ini bangkit sebagai kekuatan baru.
Umat Islam diminta diam dan taat dalam demokrasi, tapi ketika mereka bersuara dan bergerak, segera dituduh mengancam NKRI.
Maka selama mayoritas penduduk negeri ini masih Muslim dan umat Islam belum mengatur sendiri sistem kehidupan berbasis tauhid kita akan terus hidup dalam kesusahan yang didesain. Bukan karena takdir, tapi karena sistem yang anti Tauhid.
Penutup:
Yang dibutuhkan bukan hanya kesabaran dalam tekanan, tapi kesadaran kolektif bahwa kesusahan ini bukan musibah biasa.
Ini adalah ujian sejarah: apakah umat Islam di Indonesia masih punya keberanian untuk bangkit, bersatu, dan membangun peradaban sendiri, tanpa harus terus dipersulit oleh sistem yang diam-diam memusuhi?
Dan selama umat belum menyadari ini, maka slogan hidup serba susah bukan sekadar meme, tapi kenyataan yang akan terus berlangsung.
“Jika Islam hanya ditempatkan sebagai identitas pribadi, maka jangan heran bila kehidupan sosial, politik, dan ekonomi umat terus disusahkan oleh sistem yang alergi pada Tauhid.”
Oleh : Benz Jono Hartono
[Praktisi Media Massa di Jakarta]