FOTO : ilustrasi anak sedang menari tarian Rayyan di ujung perahu [ ist ]
redaksi – radarkalbar.com
“Bang, Melaysia mengklaim lomba Pacu Jalur tu,” kata sejumlah followers. Saya orang yang sulit percaya begitu saja.
Mesti dilakukan riset kecil, apakah benar negeri jiran itu mengklaim budaya dari Desa Pintu Gobang Kari, Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau itu? Kita akan ungkap sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Di dunia yang sudah terlalu letih dengan perang, utang, dan drama selebritas, datanglah penyemangat negeri ini. Rayyan Arkan Dhika dari Kuansing, Riau. Bukan, ia bukan anak indigo, bukan juga keturunan Majapahit atau anak artis TikTok.
Ia hanyalah bocah biasa yang memutuskan untuk menari di ujung perahu saat lomba Pacu Jalur. Tanpa ia sadari, mengguncang algoritma global, menampar budaya internasional, dan membuat netizen Malaysia mendadak bingung identitas.
Semuanya bermula dari momen epik terekam kamera. Rayyan, berdiri di haluan perahu sepanjang 25 meter, dengan gaya seolah-olah sedang menyalurkan energi kosmis dari sungai Kuantan ke tubuhnya.
Tangannya melambai, kakinya bergoyang, wajahnya menantang badai, seolah ia sedang membelah realitas hanya dengan kekuatan tari. Lalu video itu viral. Viral bukan kaleng-kaleng. Viral yang membuat akun-akun fan PSG dan AC Milan memposting ulang dengan caption: “We farm aura now.” Beberapa pengamat budaya menyebut tarian itu sebagai “Aura Farming”, karena entah bagaimana, gerakan Rayyan bisa memanen view, cinta, dan kekaguman dari seluruh dunia hanya dengan satu goyangan betis.
Tapi seperti semesta yang tak pernah kehabisan plot twist. Datanglah segelintir netizen dari negeri jiran Malaysia, yang mendadak mengalami pencerahan spiritual dalam bentuk komentar Instagram.
“Itu budaya kami!” kata mereka. “Itu tarian dari Kuantan! Kuantan itu Malaysia!” lanjut yang lain. Padahal, Rayyan lahir, besar, dan berteriak “yeeee!” di Kuantan Singingi, yang secara geografis, sejarah, dan administrasi jelas-jelas ada di Riau, Indonesia, bukan di peta Pahang.
Inilah momen ketika sejarah, akal sehat, dan Google Maps berkolaborasi untuk menangis bersama. Sebab Pacu Jalur, lomba perahu tradisional yang diwariskan sejak abad ke-17.
Awalnya digunakan masyarakat Sungai Kuantan untuk mengangkut hasil bumi dan orang. Kini, harus berjuang melawan tagar-tagar absurd. Tradisi ini sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia sejak 2014. Bahkan, sedang diajukan ke UNESCO.
Budaya ini kini diseret-seret ke dalam pusaran perdebatan digital, hanya karena satu tarian anak kecil bikin FYP.
“Terus, bang. Benar ndak itu diklaim Malaysia?” Sebuah investigasi dari Poskota menemukan, beberapa akun Malaysia yang mengklaim budaya Pacu Jalur sebagai miliknya, ternyata… dibuat oleh orang Indonesia sendiri.
Waduh, siapa orangnya, bikin malu. Entah ini prank lokal, upaya memperkeruh suasana demi adsense, atau ritual pemanggilan makhluk konten, tak ada yang tahu.
Tapi yang jelas, adu klaim ini sudah berubah dari debat budaya menjadi sinetron lintas negara.
Pemerintah Indonesia pun turun tangan. Menteri Kebudayaan Fadli Zon dengan serius, dan sedikit gemas, menyatakan bahwa Pacu Jalur adalah milik sah Kuansing, titik.
Kepala Dinas Pariwisata Riau, Roni Rakhmat, sampai harus menahan napas dan menjelaskan bahwa tarian Rayyan bukan bagian dari Tari Zapin Malaysia, bukan Tari Wau Bulan, bukan juga gerakan pemanggil hujan, tapi simbol semangat lomba Pacu Jalur yang sudah ratusan tahun ada di tanah Riau.
Bahkan burung-burung di hutan Taluk Kuantan pun bisa bersaksi, jika mereka tidak terlalu sibuk ikut aura farming.
Beginilah zaman kita sekarang. Seorang anak menari di ujung perahu, lalu dunia menjadi ribut.
Tapi di tengah keributan itu, satu hal pasti: kebenaran sejarah tak bisa digoyang, walau oleh gerakan pinggul Rayyan yang menggoda seluruh peradaban.
Inilah kenyataannya. Seorang bocah menari, dunia viral, netizen meracau, pemerintah klarifikasi, filsuf meracik makna, dan kita semua… tertawa.
Di tengah absurditas zaman ini, satu hal yang pasti, budaya bukan cuma soal asal-usul, tapi juga soal cinta, pelestarian, dan hormat pada sejarah.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]