Utang Kartu Kredit Warga Singapura Meledak, Tembus Ratusan Triliun

3 hours ago 1

Elvan Widyatama,  CNBC Indonesia

19 December 2025 10:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan utang kartu kredit di Singapura memberi sinyal peringatan soal tekanan keuangan rumah tangga di salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia.

Berdasarkan data Singapore Departement of Statistics pada kuartal III-2025, nilai tagihan kartu kredit yang tidak dibayar lunas dan digulirkan ke bulan berikutnya atau rollover balances telah menembus 9,07 miliar dolar Singapura (SGD) atau setara dengan Rp 117,1 triliun (asumsi kurs Rp12.914/SGD).

Hal ini sekaligus tercatat sebagai level tertinggi dalam 10 tahun terakhir atau sejak akhir 2014. Adapun, kenaikan tagihan kartu kredit yang tidak dibayarkan ini sudah menjadi sebuah tren panjang.

Sejak kuartal II-2021, rollover utang kartu kredit terus mengalami kenaikan dari SGD 5,19 miliar di kuartal II-2021 hingga mecetak rekor di kuartal III-2025. Hal ini mencerminkan akumulasi tekanan finansial pasca pandemi yang belum sepenuhnya mereda. Dalam sistem kartu kredit, saldo yang tidak dilunasi otomatis dikenakan bunga yang membuat beban keuangan rumah tangga meningkat secara eksponensial.

Para pengamat menilai lonjakan ini tidak semata mencerminkan pola konsumsi yang agresif, melainkan juga menjadi indikasi menyempitnya ruang fiskal rumah tangga di tengah kenaikan biaya hidup.

Pemegang Kartu Menyusut, Utang Justru Membengkak

Menariknya, lonjakan utang ini terjadi di tengah penurunan jumlah pemegang kartu kredit. Pada kuartal III-2025, jumlah pemegang kartu kredit utama tercatat sekitar 6,1 juta orang, terendah sejak kuartal IV-2023.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan tren jangka panjang sejak 2020 yang sebelumnya menunjukkan kenaikan.

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa meski basis pengguna kartu kredit menyusut, rata-rata utang per kartu justru meningkat. Dengan kata lain, risiko utang tidak tersebar merata, melainkan terkonsentrasi pada kelompok tertentu yang memiliki eksposur kredit lebih besar.

Manajer pusat konseling keuangan Adullam Life Counselling, Jean Lee, menilai tekanan ekonomi dan akumulasi utang membuat proses pelunasan menjadi semakin berat.

"Dengan tekanan ekonomi dan meningkatnya saldo utang yang digulirkan, proses pembayaran menjadi lebih sulit. Itu sebabnya meskipun jumlah pemegang kartu berkurang, rata-rata utang per orang tetap naik," ujar Lee, dikutip dari CNA.

Risiko Terkonsentrasi di Kartu Kredit Utama

Sejumlah analis melihat fenomena ini sebagai refleksi dari perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Budaya konsumsi berbasis status, kemudahan akses kredit, hingga menjamurnya layanan buy now, pay later mendorong masyarakat membelanjakan dana di luar kemampuan riilnya. Dominasi transaksi non-tunai juga membuat pengeluaran terasa "tidak kasat mata", sehingga kontrol belanja melemah.

Peneliti senior Institute of Policy Studies National University of Singapore, Dr Teo Kay Key, menyoroti kuatnya dorongan sosial dalam pola konsumsi modern.

"Saat ini masyarakat memang menaruh penekanan pada kepemilikan barang-barang tertentu yang dianggap prestisius atau menjadi simbol status," ujar Dr Teo, dikutip dari CNA. Dia menambahkan, banyak individu memandang pembiayaan berbasis utang sebagai perilaku keuangan yang wajar.

Tekanan biaya hidup turut memperparah situasi. Inflasi inti Singapura tercatat naik ke 1,2% secara tahunan pada Oktober, didorong kenaikan harga jasa, makanan, dan ritel.

Ini merupakan level tertinggi sejak Desember tahun lalu. Kenaikan harga tersebut menggerus daya beli, sehingga kartu kredit kerap digunakan sebagai penyangga sementara arus kas rumah tangga.

Meski demikian, dari sisi stabilitas sistem keuangan, otoritas Singapura masih menilai situasi relatif terkendali.

Tingkat gagal bayar kartu kredit tercatat tetap di bawah 1% dari total pemegang kartu, bahkan lebih rendah dari rata-rata historis. Hal ini menunjukkan sebagian besar debitur masih mampu memenuhi kewajibannya, meskipun dengan ruang napas keuangan yang semakin sempit.

Kebijakan pengaman seperti syarat pendapatan minimum S$30.000 per tahun untuk kepemilikan kartu kredit turut menahan potensi risiko sistemik.

Namun, sinyal tekanan sosial mulai muncul. Permintaan layanan konseling keuangan dilaporkan meningkat 13% dibandingkan Desember tahun lalu, dengan profil debitur yang semakin muda.

Jika sebelumnya mayoritas pencari bantuan berada di usia 50-60 tahun, kini didominasi kelompok 30-40 tahun. Gaya hidup berbasis langganan (subscription economy) dan normalisasi utang sejak usia produktif dini disebut menjadi faktor pendorong utama.

Fenomena ini menegaskan bahwa persoalan utang kartu kredit bukan sekadar isu likuiditas, melainkan tantangan literasi keuangan di era cashless. Ketika uang hanya hadir sebagai angka di layar aplikasi, persepsi terhadap nilai dan arus keluar dana ikut berubah.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |