Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Teringat kisah indahnya persahabatan para tokoh bangsa yang diceritakan dengan sangat apik oleh Tempo dalam buku "Natsir Politik Santun Di Antara Dua Rezim." Mohamad Natsir sebagai tokoh partai Islam Masyumi ketika itu dengan Ignatius Joseph Kasimo, tokoh partai Katolik Indonesia.
Keduanya sering terlihat berdebat sangat tajam dalam sidang-sidang Konstituante, tapi ketika pulang mereka sering berboncengan dan minum kopi bersama tanpa ada perasaan dendam di antara keduanya.
Tidak hanya dengan Kasimo, Natsir juga bersahabat dekat dengan Johannes Leimena yang merupakan tokoh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan bahkan dengan Dipa Nusantara Aidit yang merupakan Ketua CC PKI.
Kerasnya pertarungan politik dan perbedaan tajam ideologi di antara mereka ketika itu, tetap disikapi dengan cara santun dan penuh persahabatan, karena masing-masing pihak saling memahami, muaranya bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Periode waktu 1950-1955 merupakan fase penting dan krusial dalam sejarah demokrasi Indonesia karena merupakan masa transisi dari negara serikat (RIS) ke negara kesatuan (NKRI). Lahirnya banyak partai politik, sistem parlementer, menunjukkan dinamika pembentukan sistem demokrasi modern meski penuh ketidakstabilan politik. Eksperimen demokrasi ini menjadi fondasi kebangsaan yang kuat dalam pembentukan negara demokrasi Indonesia
Perjalanan sejarah dalam pembentukan negara demokrasi pasca kemerdekaan, tidak bisa dilepaskan dari figur-figur kunci, para elite politik ketika itu. Kematangan berpolitik, memiliki pemahaman ideologi politik yang kuat serta kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan mereka memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsi politik secara efektif, berintegritas, dan bertanggung jawab, dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Puncaknya adalah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955 yang berlangsung dengan jujur, adil, dan demokratis dalam sejarah Indonesia modern. Hal ini tercermin dari partisipasi dan antusias masyarakat dalam pelaksanaan pemilu yang aman dan tertib meskipun dengan sarana yang sangat sederhana, serta kesadaran berkompetisi yang sehat di antara partai politik, termasuk para politisi yang mencalonkan diri.
Pemilu pertama ini merupakan tonggak penting dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Keberhasilan pemilu tahun 1955 akan selalu menjadi daya tarik untuk dikaji dan dibahas dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Tercatat Herbert Feith dalam bukunya, "The Indonesian Election of 1955", akademisi asal Australia ini memotret pelaksanaan pemilu pertama di Indonesia tersebut. Dikatakan Feith, petugas partai di masing-masing TPS banyak yang buta huruf. Namun, di antara para buta huruf hampir selalu ada paling tidak dua orang yang bisa membaca. Keterbatasan ini tidak menghalangi setiap orang untuk menjaga dan bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu pertama tersebut.
Selain tingkat pendidikan yang masih rendah, Pemilu tahun 1955 juga berada dalam kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan. Sebagai negara yang baru merdeka masih mencari bentuk, kondisi perekonomian cenderung tidak stabil, ditandai inflasi tinggi, mata uang yang bergejolak, angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, defisit anggaran yang membengkak serta utang pemerintah yang cukup besar.
Semuanya tidak menjadi penghambat dalam menghasilkan pemilu yang berkuaitas dan bermartabat.
Kematangan Elite menuju Demokrasi yang Berkualitas
Pemilu tahun 1955 bukan sekadar proses memilih wakil rakyat, tetapi juga menandai lahirnya budaya politik yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemilu ini menjadi simbol kebangkitan politik rakyat setelah kemerdekaan, sekaligus wujud nyata pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Masih rendahnya tingkat pendidikan dan keterbatasan ekonomi masyarakat, tidak menjadi faktor penghambat pelaksanaan pemilu yang berkualitas, menghasilkan anggota konstituante dan DPR yang merepresentasikan pilihan rakyat.
Pemilu pertama tersebut juga memberikan pelajaran penting bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Kedewasaan elite politik dalam menampilkan sosok yang memiliki karakter ideologis yang kuat, berintegritas dan bersahaja adalah faktor kunci yang menjadi daya tarik bagi keberhasilan pemilu pertama tersebut.
Terbukti, partisipasi masyarakat dalam memilih anggota DPR dan konstituante mencapai 37,78 juta atau 87,65 persen dari 43,10 juta pemilih terdaftar. Bandingkan dengan pemilu tahun 2024 dimana tingkat partisipasi aktifnya sekitar 81,9 persen.
Adanya hipotesis yang mengatakan bahwa demokrasi yang berkualitas akan sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan pendapatan (ekonomi) masyarakat. Tetapi hal ini terbantahkan oleh pemilu tahun 1955. Kematangan atau kedewasaan elite politik adalah faktor inti (core factor) dalam mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan demokrasi yang berkualitas. Sementara itu, tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat lebih berfungsi sebagai faktor pendukung (enabling factor).
Meskipun pendidikan dan ekonomi sangat penting dalam membangun masyarakat yang terdidik dan berdaya, tetapi kematangan moral dan etika para elite politik tetap menjadi faktor penentu lahirnya proses demokrasi yang sehat dan berkualitas.
Dalam praktiknya seringkali politisi yang tidak matang (childish) akan memanfaatkan kebodohan dan kemiskinan konstituen untuk kepentingan kekuasaan, tetapi politisi yang matang dan dewasa akan memanfaatkan kekuasaan untuk mencerdaskan dan mensejahterakan konstituennya.
Selain itu, kedewasaan para elite juga sangat membantu dalam menghargai proses politik yang sedang berlangsung. Mereka menjadikan pemilu sebagai kontestasi ide dan gagasan untuk merebut hati masyarakat, ketimbang menggunakan isu SARA untuk menyerang lawan politik dan menggunakan politik transaksional (money politic) untuk membeli suara masyarakat.
Menghormati konstitusi, bahkan ketika regulasi tidak berpihak sekalipun, mereka tidak berusaha mengubah aturan main demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Begitupula ketika memiliki kekuasaan dalam pemerintahan, para elit ini memilih jalan lurus untuk menjalankan kekuasaanya, tidak melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power) dengan membiarkan perilaku koruptif dan manipulatif. Elite yang matang dan dewasa akan memprioritaskan kepentingan publik dan kesejahteraan masyarakat di atas ambisi politik jangka pendek atau keuntungan materi yang mereka dapatkan.
Kekuatan Ideologi dan Politik Gagasan
Kematangan elite politik tidak lahir dari ruang hampa, tapi terbentuk dari sebuah proses panjang pergulatan ideologi. Tokoh bangsa seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, dan Natsir adalah figur yang lahir dari pertarungan ideologi yang sangat kuat, pemikiran mereka saling bersinggungan, beradu, dan membentuk fondasi ideologis bangsa.
Mulai dari pemikiran nasionalisme, sosialisme, hingga Islamisme, tetap relevan dalam diskursus politik kekinian. Ideologi memberikan arah dan motivasi dalam perjuangan politik, sehingga seorang politisi tidak hanya mengejar kekuasaan, tetapi memperjuangkan nilai dan cita-cita besar.
Elite politik yang punya kekuatan pemikiran dan matang secara ideologi akan melahirkan ide dan politik gagasan untuk membangun bangsa dengan semangat kenegarawanan. Begitupula demokrasi yang berlandaskan ideologi akan melahirkan persatuan dan kematangan politik, bukan perpecahan atau politik adu domba.
Karena itu, setiap elite dan partai politiknya harus terus menjaga jati dirinya sebagai partai yang memiliki ideologi, mengedepankan politik gagasan dan berkomitmen menghadirkan demokrasi yang sehat dan berkualitas.
Perjalanan panjang untuk membangun demokrasi yang sehat dan berkualitas tidak boleh berhenti. Para founding fathers sudah membangun fondasi yang kuat untuk diteruskan. Mungkin tidak ada yang tahu, apa yang sedang dibicarakan oleh Pak Natsir dan Pak Kasimo saat minum kopi bersama, tetapi kita tahu apa yang telah beliau perjuangkan untuk bangsa dan negara.
(miq/miq)

3 hours ago
1

















































