Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kebijakan Tarif
Setelah kembali menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat pada 20 Januari lalu, kebijakan pamungkas Presiden Donald Trump, yaitu tarif diberlakukan di berbagai belahan dunia dan sektor. Mengutip Forbes, kebijakan pengenaan tarif dahulu dianggap sebagai sumber utama pendapatan pemerintah yang pada tahun 1798 dan 1913 kebijakan ini menyumbang antara 50% - 90% dari pendapatan pemerintah.
Secara ringkas, kebijakan tersebut mengalami perkembangan mulai dari Undang-Undang Tarif 1789 oleh Kongres AS hingga Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley 1930 yang dirancang untuk mengatasi Great Depression di AS kala itu.
Memang jika melihat sejarah, sebagaimana mengutip Murat Sofuoglu, kebijakan tarif selain sebagai sumber pendapatan pemerintah juga membawa perkembangan industri terutama pada sektor baja AS yang meningkat dari 1,25 juta ton menjadi lebih dari 10 juta ton antara tahun 1880-an hingga awal 1900-an.
Namun terdapat beberapa catatan kerugian dari keberlakuan tarif. Seperti data dari Forbes yang menunjukan selama lebih dari tujuh dekade, tarif sangat jarang berkontribusi lebih dari 2% dari pendapatan pemerintah.
Adapun secara historis sejak keberlakuan Undang-Undang Smoot-Hawley, impor dan ekspor AS turun sekitar 40%. Tarif sendiri bekerja dengan memberikan bea masuk tambahan atas produk dari sektor yang ditunjuk sehingga Perusahaan pengimpor akan membayar lebih dari harga biasa.
Indonesia termasuk dalam radar Trump
Per 2 April 2025 lalu, Indonesia menjadi sasaran dari kebijakan tarif Amerika Serikat di mana Indonesia akan dikenakan tarif sebesar 32%. Amerika Serikat sendiri merupakan salah satu mitra utama Indonesia dimana tiga komoditas unggulan Indonesia yang diekspor ke Amerika Serikat antara lain terkait mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan aksesoris dan alas kaki.
Sebagai contoh adalah volume ekspor mesin dan perlengkapan elektrik pada periode Januari-Februari 2025 meningkat sebesar 61,6 ribu ton atau 53,78% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu 40 ribu ton pada Januari-Februari 2024.
Adapun sebagai tindak lanjut, Pemerintah Indonesia menunjuk delegasinya untuk melaksanakan kunjungan kerja ke Amerika Serikat, tepatnya untuk bertemu dengan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat pada 16-23 April 2025.
Mengutip dari Kompas, beberapa poin-poin proposal Pemerintah Indonesia dalam menjajal negosiasi bersama Amerika Serikat antara lain peningkatan impor dan pembelian barang dari AS, realokasi kebutuhan nasional Indonesia untuk pembelian produk energi (migas) dan produk-produk pertanian, memberikan insentif dan fasilitas bagi Perusahaan Amerika Serikat dan Indonesia dan lainnya.
Alih-alih mendapatkan penurunan tarif, Pemerintah Indonesia menjelaskan terdapat tambahan tarif yang lebih tinggi untuk produk seperti garmen dan tekstil. Dalam konferensi pers Kementerian Perekonomian Indonesia pada 18 April 2025, Pemerintah Amerika Serikat tetap menerapkan tarif proteksionis untuk barang tekstil hingga kisaran 10%-37% dengan akumulasi saat ini tarif 10% untuk 90 hari di tekstil dan garmen maka untuk sektor terkait dapat dikenakan tarif hingga berkisar 20%-47%.
Lebih lanjut, terdapat satu isu yang melibatkan kedaulatan digital sistem pembayaran Indonesia yang perlu diperhatikan serius. Amerika Serikat menyoroti penggunaan QRIS dan GPN dalam negosiasi dagang bersama Pemerintah Indonesia dan menilai keduanya sebagai hambatan perdagangan.
Negosiasi perlu diteruskan namun keadilan perlu diperjuangkan
Secara umum, QRIS sendiri merupakan standar kode QR nasional untuk pembayaran digital di Indonesia yang telah dikembangkan oleh Bank Indonesia. QRIS dibuat agar proses transaksi pembayaran secara domestik menggunakan QR Code dapat lebih mudah, cepat, dan terjaga keamanannya.
Adapun GPN merupakan solusi untuk infrastruktur pembayaran ritel nasional dimana penataan infrastruktur, instrument (arrangement) kelembagaan, serta mekanisme penyelenggaraan dalam mendukung ekosistem yang interconnected, interoperable, dan memiliki kapabilitas dalam pemrosesan transaksi domestik. Sederhananya, GPN berfungsi menghubungkan kanal pembayaran non tunai di Indonesia menjadi satu sistem yang terkoneksi.
QRIS dan GPN tentu saja perlu menjadi perhatian khusus mengingat keduanya merupakan bentuk kedaulatan digital sistem pembayaran Indonesia dan memperkuat ekosistem pembayaran nasional yang juga dapat mengurangi ketergantungan terhadap infrastruktur asing. Baik QRIS dan GPN sendiri merupakan salah satu kebijakan strategis nasional untuk dapat meningkatkan inklusi keuangan dan sangat dibutuhkan oleh Indonesia.
Negosiasi dan dialog perlu terus ditekankan antara dua negara. Jika melakukan studi kasus pada kerjasama antarnegara dalam konteks kerjasama investasi seperti Bilateral Investment Treaty (BIT), mengutip Mutia Evi meskipun secara teoritik hubungan kerja sama antarnegara dapat memberikan manfaat (mutual benefit), namun secara praktik menimbulkan kritik dan perdebatan di mana bersifat formalitas dan tidak seimbang karena implementasinya lebih menguntungkan investor negara maju.
Hal ini perlu digarisbawahi oleh Pemerintah Indonesia dimana pendekatan proteksionisme oleh Amerika Serikat perlu disandingkan dengan prinsip right to economic self-determination (RESD). Prinsip ini adalah hak masyarakat negara tersebut untuk menentukan kondisi kerja, produksi, perolehan dan distribusi termasuk kebebasan Masyarakat untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya.
Hal ini juga menjadi tantangan sendiri bagi Bank Indonesia sebagai lembaga yang memiliki tujuan salah satunya adalah menjaga stabilitas sistem pembayaran. Bank Indonesia sendiri perlu memperkuat posisinya sebagai lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugasnya serta terbebas dari campur tangan pemerintah.
Meskipun arah kebijakan idealnya mempertimbangkan terlebih dahulu perkembangan hasil perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat, selama belum tercapai suatu kesepakatan yang bersifat resiprokal dan mencerminkan prinsip kesetaraan, Pemerintah, khususnya Bank Indonesia, perlu tetap konsisten dalam menjaga kedaulatan digital sistem pembayaran sebagai bagian dari upaya mempertahankan integritas dan kemandirian sistem keuangan nasional.
(miq/miq)