Surabaya, CNBC Indonesia- Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, menyampaikan satu pesan tegas, sistem keuangan nasional tidak akan tahan menghadapi krisis global jika hanya dijaga lewat simbolik dan narasi.
Stabilitas, menurutnya, adalah hasil dari desain kebijakan yang tenang namun presisi, bukan hasil dari respons terburu-buru terhadap tekanan eksternal. Demikian disampaikan Purbaya dalam acara yang dihadiri pelaku industri dan generasi muda di Surabaya hari ini, Kamis (7//2025).
Di hari kedua LPS Financial Festival 2025, Purbaya memaparkan arah kebijakan LPS yang menghindari manuver reaktif, dan lebih memilih kalkulasi risiko yang mendalam dalam menjaga suku bunga penjaminan maupun mitigasi kegagalan bank. Ia juga menguraikan perluasan mandat lembaganya ke sektor asuransi dan pentingnya kepercayaan publik terhadap mekanisme perlindungan keuangan.
"Kalau semua instansi bergerak berdasarkan tekanan dan asumsi, sistem ini akan kehabisan bantalan. Kami menjaga agar publik tetap tenang karena sistemnya memang siap."," ungkap Purbaya dalam acara LPS Financial Festival di Surabaya hari ini, Kamis (7//2025).
LPS tak hanya menjamin simpanan nasabah perbankan hingga Rp2 miliar per orang per bank.
Pada 2028 mendatang, mandatnya akan diperluas ke sektor asuransi. Ini penting karena industri asuransi adalah salah satu sumber dana jangka panjang untuk pembangunan. "Kalau industri asuransi rusak, kita gak punya dana buat proyek-proyek berkelanjutan," tegasnya.
Purbaya menekankan bahwa salah satu indikator utama ketenangan publik terhadap kondisi ekonomi adalah tidak adanya panic withdrawal, tak ada antrean panjang menarik uang di ATM, bahkan saat Covid-19 menerjang.
LPS mengambil peran aktif dengan memantau dan menetapkan bunga penjaminan (TBP) secara cermat agar bank tidak terpacu menaikkan bunga di luar kendali. "Dua tahun terakhir, kontribusi LPS sangat signifikan, tapi memang banyak yang gak tahu," ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa LPS bukan lembaga pasif. Ketika bunga global naik tajam, LPS memilih tidak serta-merta menaikkan TBP agar sektor riil tidak terbebani. Ini dilakukan berdasarkan rumus.
Pandangan Makro dan Optimisme Domestik
Purbaya juga menanggapi sentimen global dengan nada realistis. Ia mengkritisi kecenderungan membebek pada proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) dan menyarankan agar Indonesia tetap percaya diri pada kekuatan domestik.
"Konsumsi dan investasi kita itu hampir 90% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Selama kita bisa mengelola permintaan domestik, ekonomi kita tetap tumbuh, meski global gonjang-ganjing," ujarnya.
Dia menyebut pengalaman 2009 dan 2020 sebagai bukti bahwa Indonesia bisa tahan terhadap krisis global selama pengelolaan internal berjalan baik. Bahkan saat perang tarif yang digagas Donald Trump, menurut Purbaya, Indonesia malah diuntungkan. "
"Tarif itu bantu kita. Margin ekspor kita ke AS (Amerika Serikat) naik sampai 16%," katanya.
Dalam bagian akhir pidatonya, Purbaya berbicara mengenai kepercayaan konsumen dan potensi generasi muda. Ia menilai bahwa meski masih ada ketakutan membelanjakan uang, daya beli masyarakat relatif terjaga. "Tugas kita bukan hanya jaga angka, tapi rawat harapan. Generasi muda kita akan jadi penggerak, selama kita bisa formulasi kebijakan yang tepat," ucapnya.
Ia menutup dengan refleksi yang jernih, pertumbuhan ekonomi era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencapai rata-rata 6% karena didorong sektor swasta.
Di era Joko Widodo meski infrastruktur masif, peran swasta agak melemah. "Kalau dua pendekatan ini dikombinasikan ke depan, angka 6% bukan mustahil," katanya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi pada era SBY mencapai 5,74% sementara era Jokowi 4,2%.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)