Petaka Baru Muncul di China, Banyak Anak Berekor Busuk

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Tantangan berat kini dihadapi oleh generasi muda di China. Banyak di antara mereka yang baru saja lulus namun sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan ketika masih berkuliah.

Fenomena ini memunculkan istilah "anak dengan ekor busuk". Istilah itu menjadi gambaran sarjana baru yang harus menerima kenyataan bekerja di luar keahlian, dibayar dengan upah yang rendah, ataupun masih sangat bergantung secara finansial kepada orang tua.

Generasi muda di China makin banyak yang kesulitan mencari kerja sesuai dengan bidang studinya. Bekerja sesuai jurusan kuliah yang ditempuh selama di bangku kuliah bukanlah perkara mudah.

Kondisi ini terungkap dalam laporan CNA berjudul "Mengapa Sarjana Muda Banyak Menganggur di China". Laporan tersebut menginformasikan bahwa ada banyak dari pencari kerja yang ditemui CNA di bursa kerja atau job fair Lishuiqiao, Beijing, beberapa saat lalu yang mengaku kesulitan mencari kerja sesuai bidang studinya selama masa di kampus.

"Saya melihat peluangnya cukup suram, pasar tenaga kerja sepi, akhirnya saya mengurungkan niat mengejar posisi tertentu," kata Hu Die, pencari kerja berusia 22 tahun yang merupakan sarjana desain dari Harbin University of Science and Technology kepada CNA, dikutip Sabtu (13/12/2025).

Sementara itu, Li Mengqi, sarjana teknik kimia dari Institut Teknologi Shanghai yang telah berusia 26 tahun, mengaku sudah delapan bulan menganggur setelah lulus kuliah. Penyebabnya serupa, yakni tidak mampu menemukan pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya saat menempuh pendidikan di universitas.

Selain itu, Chen Yuyan, lulusan Guangdong Food and Drug Vocational College pada 2022 yang berusia 26 tahun bahkan akhirnya harus bekerja sebagai petugas sortir paket di sebuah cabang agen kurir.

Meskipun telah mendapatkan pendidikan vokasi, Chen Yuyan merasa sulit untuk memperoleh pekerjaan dengan standar gaji yang mencukupi. Sebab, banyak lowongan kerja yang mencantumkan syarat-syarat menyulitkan.

"Banyak perusahaan mencari kandidat yang sudah berpengalaman-orang-orang yang bisa langsung bekerja. Sebagai lulusan baru, kami tidak punya cukup pengalaman. Mereka sering mengatakan tidak memiliki sumber daya untuk melatih karyawan baru, dan gaji yang ditawarkan sangat rendah," ungkap Chen.

Krisis Pasar Tenaga Kerja di China

Pendiri Young China Group, sebuah lembaga think tank atau pemikir yang berbasis di Shanghai, Zak Dychtwald mengatakan, masalah yang dihadapi Li, Hu, dan Chen merupakan gambaran krisis pasar kerja di China bagi para pemudanya yang berharap bisa berkarir sesuai bidang keahliannya.

"Salah satu masalah terbesar saat ini adalah ketimpangan antara kerja keras yang mereka lakukan saat kuliah dan pekerjaan yang menanti ketika lulus," terang Zak Dychtwald.

Asisten profesor Sosiologi di University of Michigan, Zhou Yun menilai, meskipun lulusan dari sekolah-sekolah elite dan jurusan automasi ataupun Artificial Intelligence (AI) banyak dicari, para sarjana masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka seiring meningkatnya persaingan di bursa kerja.

"Industri yang secara tradisional menjadi penyerap utama lulusan perguruan tinggi, seperti startup internet dan pendidikan, juga mengalami penyusutan dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, ada alasan struktural yang mendalam di baliknya," katanya.

Lantas, memburuknya pasar kerja di China telah memunculkan istilah "anak dengan ekor busuk" di China sebagai gambaran sarjana muda yang terpaksa bekerja dengan gaji rendah dan bergantung pada orang tua akibat tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan mereka. Istilah ini diambil dari "gedung ekor busuk", sebuah proyek perumahan yang mangkrak dan menjadi beban ekonomi China sejak 2021.

Profesor Global Labor and Work di Cornell University, Eli Friedman menyoroti adanya pergeseran budaya yang memengaruhi sikap generasi muda terhadap pekerjaan.

Ancam Kepastian Ekonomi

Dia melanjutkan, berbeda dengan generasi orangtua mereka, sarjana muda saat ini lebih enggan menerima pekerjaan berkualitas rendah atau tidak stabil, bahkan di tengah tekanan ekonomi. Bahkan, mereka juga enggan memulai usaha kecil untuk bisa mengembangkan bisnis.

"Saat ini jika Anda berusia 22 atau 23 tahun dan baru lulus universitas di China, saya rasa Anda tidak akan mau berjualan barang-barang kecil di jalanan, lalu menabung dan menggunakannya untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Secara budaya, saya rasa itu bukan lagi jalan yang dipilih kebanyakan orang," urai Friedman.

Pergeseran sikap ini telah melahirkan istilah "merunduk" atau tangping dalam bahasa Mandarin, yakni ketika kaum muda memilih mundur dari persaingan kerja yang hiperkompetitif. Menurut Friedman, beberapa anak muda enggan "menerima pekerjaan apa pun yang tersedia" karena semakin kecewa dengan model tradisional pengembangan karir.

Zhou dari University of Michigan turut menyoroti dampak psikologis mendalam akibat pengangguran berkepanjangan, terutama di kalangan lulusan yang sebelumnya dijanjikan masa depan yang stabil.

"Ketidakmampuan mendapatkan pekerjaan tidak hanya menciptakan ketidakpastian ekonomi, tetapi juga menghilangkan martabat dan tujuan hidup. Bagi para lulusan, hal ini meruntuhkan narasi yang selama ini mereka yakini - bahwa pendidikan akan memberikan kehidupan yang lebih baik," ungkapnya.

Pada tahun ini, jumlah lulusan universitas di China akan mencapai rekornya yaitu 12,22 juta orang, atau naik dari 9 juta orang pada 2021. Pemerintah China telah mengakui solusi untuk mengatasi tantangan lapangan pekerjaan di negara itu sangat mendesak.

"Ketidakcocokan antara pasokan dan permintaan sumber daya manusia semakin mencolok," kata Menteri Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial China, Wang Xiaoping dalam konferensi pers pada 9 Maret silam di sela-sela pertemuan tahunan Lianghui atau Dua Sesi.

Sebagai informasi, Laporan Kerja Pemerintah China 2025 merinci rencana untuk mengatasi pengangguran kaum muda dengan menekankan perluasan peluang kerja, bantuan keuangan yang lebih terarah, dan dukungan baru bagi kewirausahaan.

Langkah-langkah spesifik yang diusulkan meliputi pengembalian premi asuransi pengangguran, pemotongan pajak dan biaya, subsidi pekerjaan, serta dukungan langsung bagi industri padat karya.

Asal tahu saja, China telah menetapkan target untuk menciptakan lebih dari 12 juta pekerjaan baru di daerah perkotaan tahun ini, sebagaimana dirinci dalam Laporan Kerja Pemerintah pada Dua Sesi.

Meskipun jumlah lulusan yang memasuki pasar kerja tahun ini mencapai rekor tertinggi, China masih menghadapi kekurangan tenaga kerja terampil, khususnya di sektor manufaktur.

Berdasarkan laporan China Daily pada Juli lalu yang berisi panduan pengembangan tenaga kerja manufaktur dari Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi serta departemen terkait, China diperkirakan akan mengalami kekurangan sekitar 30 juta pekerja terampil di 10 sektor manufaktur utama pada tahun 2025.

(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |