Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia bergerak tipis pada perdagangan Selasa (12/8/2025) pagi, seiring pelaku pasar menanti hasil pertemuan penting antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska pada 15 Agustus mendatang.
Mengutip Refinitiv, harga minyak Brent kontrak Oktober 2025 pukul 10.05 WIB diperdagangkan di sekitar US$ 66,75 per barel. Sementara harga minyak mentah light sweet (WTI) berada di US$ 64,02 per barel.
Pergerakan tipis ini terjadi setelah aksi jual beberapa hari terakhir berhenti sementara. Pasar menunggu perkembangan perundingan Trump Putin yang akan membahas penghentian perang Rusia Ukraina. Ekspektasi mencuat, jika pertemuan gagal mencapai kesepakatan damai, sanksi terhadap Rusia berpotensi diperberat.
Trump menyatakan kedua pihak harus bersedia menyerahkan sebagian wilayah untuk mengakhiri perang yang sudah berlangsung sejak Februari 2022. Sebelumnya, Trump memberi tenggat hingga 8 Agustus agar Rusia menyetujui perdamaian atau pembeli minyaknya menghadapi sanksi sekunder. Washington juga menekan India agar mengurangi pembelian minyak Rusia.
Harga minyak sempat tertekan pekan lalu karena ekspektasi gangguan pasokan berkurang. AS hanya menambah tarif pada India, bukan seluruh pembeli minyak Rusia, sehingga pasokan global tetap relatif longgar. UBS bahkan memangkas proyeksi harga Brent akhir tahun menjadi US$ 62 per barel dari US$ 68, mengutip pasokan lebih tinggi dari Amerika Selatan dan negara-negara yang terkena sanksi.
"Saat ini, pasar menimbang OPEC yang tidak menaikkan produksi sebanyak perkiraan versus kemungkinan adanya kesepakatan gencatan senjata di Ukraina yang membuat minyak Rusia kembali mengalir bebas. Keseimbangan ini membuat harga minyak berfluktuasi seperti yo-yo," ujar Phil Flynn, analis senior Price Futures Group.
Dari sisi pasokan, konsorsium yang dipimpin Exxon Mobil mulai memproduksi minyak di Guyana empat bulan lebih cepat dari jadwal. Sementara itu, data resmi China menunjukkan harga produsen (PPI) Juli turun lebih tajam dari perkiraan, menandakan lemahnya permintaan industri di negara tersebut.
CNBC Indonesia
(emb/emb)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Harga Minyak Meroket 10% Pasca Israel Serang Iran