FOTO : Ketua KAHNI Kalbar, Raden Hoesnan [ ist ]
Tim liputan – radarkalbar.com
PONTIANAK – Keberadaan 15 warga negara asing (WNA) asal Beijing yang beraktivitas di PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) Kabupaten Ketapang menjadi sorotan publik setelah terlibat dalam insiden penyerangan terhadap prajurit TNI.
Peristiwa tersebut terjadi saat aparat TNI menegur para WNA yang menerbangkan drone di kawasan perusahaan tersebut.
Insiden ini memicu kekhawatiran serius terkait pengawasan orang asing, terutama karena tindakan para WNA dinilai berani dan membahayakan aparat negara.
Teguran yang diberikan prajurit TNI justru berujung pada aksi penyerangan, sehingga menimbulkan pertanyaan besar mengenai latar belakang, tujuan keberadaan, serta aktivitas sebenarnya dari belasan WNA tersebut di wilayah Ketapang.
Tak ayal, hal itu memantik Ketua Dewan Pimpinan Daerah Komite Advokasi Hukum Nasional Indonesia (DPD KAHNI) Provinsi Kalimantan Barat, Raden Hoesnan angkat bicara.
Pria yang dikenal cukup vokal ini, menegaskan peristiwa ini harus diusut secara menyeluruh dan transparan.
Menurutnya, negara tidak boleh kecolongan terhadap keberadaan warga asing yang melakukan aktivitas mencurigakan, terlebih hingga berujung pada tindakan kekerasan terhadap aparat TNI.
“Ini bukan persoalan sepele. Ada 15 WNA asal Beijing berada di satu perusahaan, kemudian berani melakukan penyerangan terhadap prajurit TNI hanya karena ditegur saat menerbangkan drone. Ini harus menjadi perhatian serius semua pihak,” ujar Hoesnan dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/12/2025).
Ia menekankan, penelusuran tidak hanya sebatas pada insiden penyerangan, tetapi juga harus mencakup legalitas kedatangan, izin tinggal, serta jenis pekerjaan yang dilakukan para WNA tersebut di PT SRM.
Menurut Hoesnan, aparat penegak hukum perlu memastikan apakah keberadaan mereka telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Lebih jauh, Hoesnan mengungkapkan kekhawatirannya terkait dugaan kepemilikan peralatan berbahaya oleh para WNA tersebut.
Berdasarkan informasi yang berkembang, para WNA diduga memiliki air soft gun, senjata tajam serta alat setrum.
Jika hal ini terbukti benar, ia menilai situasi tersebut sangat mengkhawatirkan dan berpotensi mengancam keamanan.
“Kepemilikan senjata, apalagi air soft gun dan alat setrum, oleh WNA jelas tidak bisa ditoleransi. Aparat harus mengusut dari mana asal senjata tersebut dan untuk kepentingan apa digunakan,” tegasnya.
Selain aspek keamanan, Hoesnan juga menyoroti peran Kantor Imigrasi Ketapang dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap orang asing yang bekerja di wilayah tersebut.
“Pengawasan imigrasi harus dievaluasi. Jangan sampai ada celah yang dimanfaatkan pihak tertentu sehingga WNA bisa beraktivitas bebas tanpa pengawasan ketat, bahkan sampai membawa peralatan berbahaya,” katanya.
Hoesnan berharap, kasus ini menjadi momentum bagi pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta instansi terkait untuk memperketat pengawasan terhadap keberadaan orang asing, khususnya di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah strategis.
“Kita juga meminta agar hasil penelusuran dan penindakan hukum disampaikan secara terbuka kepada publik guna menjaga kepercayaan masyarakat,” pintanya.
Hingga saat ini, pihak berwenang masih melakukan pendalaman terhadap insiden tersebut. Masyarakat pun menunggu langkah tegas aparat dalam mengusut tuntas kasus ini sekaligus memastikan keamanan dan kedaulatan negara tetap terjaga di wilayah Ketapang. [ red ]
editor/publisher : admin radarkalbar.com

1 day ago
3

















































