Jakarta, CNBC Indonesia - Lonceng kematian Paus Francis telah berdentang. Dunia Katolik kini memasuki babak transisi yang penuh ritual, intrik, dan pengharapan, mencari pemimpin baru Tahta Suci di tengah zaman yang terus bergolak.
Paus Fransiskus wafat pada Senin Paskah, 21 April 2025, dalam usia 88 tahun setelah berjuang melawan bronkitis dan pneumonia ganda. Kepergiannya menandai awal dari masa sede vacante, periode di mana Takhta Apostolik kosong dan Gereja Katolik tanpa gembala utama.
Namun, kekosongan ini bukan tanpa arah. Gereja Katolik memiliki prosedur yang sangat rinci dan sakral dalam menghadapi wafatnya Paus ritus kuno yang kini bergerak di tengah dunia modern.
Begitu kematian Paus disahkan oleh Camerlengo, Kardinal Kevin Farrell, dimulailah rangkaian novemdiales sembilan hari penuh doa dan misa arwah yang berlangsung hingga 29 April 2025. Tradisi ini juga memberi waktu bagi para kardinal dari seluruh dunia untuk segera menuju Roma.
Pemakaman Paus kemungkinan digelar sembilan hari sejak wafat. Menariknya, Paus Francis tidak ingin dimakamkan di Basilika Santo Petrus seperti kebanyakan pendahulunya. Ia justru memilih Basilika Santa Maria Maggiore, simbol kedekatannya dengan kaum marjinal dan pinggiran.
Foto: Paus Fransiskus berdoa di Basilika Santa Maria Maggiore, Roma, Italia. (Dok. vaticannews)
Paus Fransiskus berdoa di Basilika Santa Maria Maggiore, Roma, Italia. (Dok. vaticannews)
Santa Maria Maggiore adalah basilika tertua di Roma yang didedikasikan untuk Bunda Maria, dibangun pada abad ke-5 setelah Konsili Efesus menetapkan Maria sebagai "Bunda Allah." Basilika ini bukan hanya saksi sejarah arsitektur dan teologi, tetapi juga simbol dari Gereja yang lembut, mengayomi, dan dekat dengan umat kecil.
Dengan sejarah panjang sebagai tempat pemakaman paus, meskipun terakhir kali digunakan lebih dari 350 tahun yang lalu. Enam paus sebelumnya dimakamkan di sini, termasuk Paus Honorius III dan Paus Clement IX. Dengan memilih basilika ini, Paus Fransiskus menghidupkan kembali tradisi lama dan menegaskan devosinya kepada Maria.
Selama masa kepausannya, Paus Francis selalu singgah ke basilika ini sebelum dan sesudah perjalanan apostoliknya ke luar negeri. Ia akan berdoa di depan ikon Maria Salus Populi Romani (Penolong Umat Roma), meminta perlindungan dan menyampaikan rasa syukur.
Keputusan untuk dimakamkan di luar Vatikan adalah langkah yang sangat jarang terjadi. Terakhir kali hal ini dilakukan adalah pada abad ke-17 oleh Paus Klemens IX. Artinya, sudah hampir 400 tahun tidak ada paus yang memilih lokasi alternatif untuk peristirahatan terakhirnya.
Paus Francis dikenal sebagai reformis, paus dari "pinggiran." Ia berkali-kali menyerukan agar Gereja "keluar dari kenyamanan istana" dan hadir di tengah penderitaan dunia. Pilihannya untuk dimakamkan di Santa Maria Maggiore mempertegas itu, bahwa Gereja bukan hanya soal kemegahan, melainkan kehadiran yang tulus.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)