Jakarta, CNBC Indonesia - Kemenangan Rusia di Ukraina dapat memicu skenario mengerikan yang berpuncak pada keruntuhan aliansi NATO, demikian peringatan dari ilmuwan politik terkemuka, Carlo Masala, dalam bukunya yang berjudul "If Russia Wins: A Scenario".
Masala, seorang profesor politik di Bundeswehr University Jerman yang memiliki pengalaman luas di NATO dan kementerian pertahanan Eropa, menawarkan pandangan spekulatif namun diklaim realistis tentang langkah Moskow pasca-perang.
Menurut tesisnya, kemenangan Rusia didefinisikan bukan sebagai gencatan senjata, melainkan "kapitulasi" Ukraina. Dalam prediksinya, Ukraina akan menyerah seperlima wilayahnya yang diduduki saat ini dan dipaksa memasukkan klausul netralitas permanen dalam konstitusinya, yang secara efektif melarang keanggotaan NATO, sementara Presiden Volodymyr Zelensky akan dipaksa mundur, digantikan oleh pemimpin pro-Kremlin melalui pemilu baru.
"Kemenangan Rusia berarti Rusia mendapatkan apa yang didudukinya saat ini," kata Masala kepada Newsweek, Minggu (19/10/2025).
"Bahkan lebih jauh, Ukraina harus menarik diri dari wilayah yang saat ini mereka kuasai dan pasukan Ukraina di masa depan akan menjadi lemah tanpa jaminan keamanan internasional."
Setelah mengamankan kesepakatan pasca-perang yang menguntungkan Kremlin, Masala memprediksi Rusia akan melancarkan uji coba yang jauh lebih cepat terhadap resolusi NATO-kemungkinan besar pada tahun 2028-dengan menargetkan Estonia, anggota aliansi yang paling rentan dengan perbatasan sepanjang 180 mil.
Rencana invasi di sayap timur NATO ini mencakup pendudukan kota Estonia yang didominasi penutur bahasa Rusia, Narva, dan pulau Hiiumaa, sebab Kremlin menilai aliansi itu tidak akan mau mengambil risiko Perang Dunia III (PD 3) atas apa yang akan mereka sajikan sebagai "tindakan kecil."
Masala menyoroti bahwa dalih yang kuat bagi Rusia adalah "penindasan minoritas berbahasa Rusia di luar negeri. Ini sama dengan apa yang terjadi di Ukraina, di mana Moskow mengklaim ada tidakan diskriminasi terhadap penduduk berbahasa Rusia.
"Orang-orang Rusia ingin memiliki semacam narasi yang membenarkan tindakan mereka di mata tidak hanya populasi Rusia, tetapi juga mereka yang bersimpati kepada Rusia di luar Rusia."
Seluruh skenario Masala bertumpu pada satu pertaruhan utama Moskow yakni keraguan NATO untuk mengaktifkan Pasal 5 (komitmen pertahanan kolektif) dan menanggung risiko konfrontasi nuklir. Masala memperingatkan bahwa jika Pasal 5 tidak diaktifkan, maka aliansi tersebut akan hancur
"Namun, jika Pasal 5 tidak diaktifkan dalam skenario seperti itu, maka 'NATO akan berakhir-NATO akan runtuh,' Masala mengatakan kepada Newsweek, sehingga mencapai tujuan Rusia."
Situasi ini, menurutnya, kemudian diperburuk oleh faktor-faktor politik global, termasuk pesan dari figur seperti Presiden AS Donald Trump yang mengisyaratkan AS mungkin tidak akan membantu Eropa, membuat negara-negara NATO meningkatkan pengeluaran militer tetapi tanpa kemampuan produksi yang cukup untuk mengimbangi penurunan perangkat keras Amerika.
Selain itu, prioritas kebijakan luar negeri Washington akan bergeser ke Indo-Pasifik pasca-perang Ukraina. Masalah ini semakin parah dengan destabilisasi di tempat lain, seperti ketegangan yang memanas antara Filipina dan China di Laut China Selatan, serta krisis migran di Eropa Selatan yang menurut Masala telah dikobarkan oleh Moskow.
"Kesediaan AS untuk berperang demi Eropa secara dramatis menurun," tandasnya.
(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Sosok Ini Bongkar Alasan di Balik Perang yang Terjadi di Dunia