Jangan Terlena "Pengampunan" AS, Waktunya RI Asah Senjata Baru

1 week ago 11

Jakarta, CNBC Indonesia- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengejutkan dunia dengan menunda pemberlakuan tarif resiprokal  terhadap puluhan negara. Penundaan ini menjadi kabar gembira bagi Indonesia yang memilih untuk negoisasi dibandingkan melawan secara langsung.

Trump pada Rabu (9/5/2025) waktu setempat mengumumkan penundaan sementara selama 90 hari atas tarif tinggi yang baru saja diberlakukannya terhadap puluhan negara, kecuali untuk China yang justru dinaikkan menjadi 125%.

Langkah mundur ini terjadi kurang dari 24 jam setelah tarif tinggi tersebut resmi diberlakukan. Keputusan Trump dilatarbelakangi oleh gejolak pasar yang sangat dramatis - volatilitas paling tajam sejak masa-masa awal pandemi Covid-19.

Trump dikenal kerap mengeluarkan ancaman tarif terhadap mitra dagang, namun seringkali mencabutnya secara mendadak. Pola kebijakan yang berubah-ubah ini membingungkan para pemimpin dunia dan membuat para pelaku usaha kewalahan menghadapi ketidakpastian ekonomi.

Dalam pernyataan terbarunya, Trump menyebut tarif terhadap negara-negara tertentu akan ditangguhkan selama tiga bulan ke depan, memberi waktu bagi para pejabat AS untuk melakukan negosiasi dengan mitra dagang yang mengajukan permohonan pengurangan tarif.

Indonesia Memilih Tak Melawan

Pemerintah Indonesia sejak awal sudah dalam posisi untuk tidak merencanakan retaliasi. Indonesia memilih jalur negosiasi dan mendorong skema Trade and Investment Framework Agreement (TIFA). Indonesia melihat AS sebagai Mitra Strategis untuk penguatan perdagangan dunia yang lebih adil,

Presiden Prabowo Subianto mengungkapan bakal perundingan dengan Amerika Serikat. Ia juga tidak khawatir dengan adanya pengenaan tarif Trump.

"Yang terakhir perang dagang, kita juga kena, tapi kita tenang. Kita punya kekuatan juga nanti akan berunding. Kita akan berunding dengan semua negara, kita akan juga buka perundingan sama Amerika," ungkap Prabowo saat panen raya di Majalengka, Jawa Barat, Senin (7/4/2025).

Ia juga menghormati keputusan pemerintah AS, yang tengah mementingkan nasib rakyatnya.

"Jadi kita tidak ada masalah. Resiprokal, apa yang mereka minta, kalau masuk akal, wajib juga kita hormati," kata Prabowo.

RI Harus Gunakan "Senjata" Baru Genjot Ekspor

Prabowo juga meminta kepada semua kalangan untuk memperluas pasar ekspor sehingga ketergantungan dengan AS bisa berkurang. Terlebih, indonesia memiliki banyak produk unggulan. 
Beberapa produk ekspor unggulan RI (Apparels dan Footwear), berpeluang besar melakukan penetrasi pasar, karena memiliki tarif lebih rendah (32%) dari negara peers Vietnam (46%), Banglades (37%), Kamboja (49%).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai US$26,36 miliar pada 2024, dengan lebih dari 66% berasal dari 10 komoditas utama mulai dari alas kaki, garmen, hingga produk elektronik. Sebagian besar dari produk tersebut kini terancam oleh tarif baru yang memperbesar beban biaya masuk.

Sepatu misalnya, menempati posisi krusial dengan ekspor senilai US$1,99 miliar (gabungan HS 6403 dan 6404) dan lebih dari 30% pangsa pasarnya ditujukan ke AS. Tarif sebelumnya yang berkisar 10-25% kini melonjak menjadi 32-37%, menekan margin produsen lokal.

Elektronik dan alat komunikasi sektor ekspor terbesar kedua RI ke AS juga terdampak. Ekspor mesin listrik dan perangkat telekomunikasi (HS 8543 dan 8517) mencapai hampir US$2 miliar, dengan konsentrasi ke AS melebihi 60%. Produk-produk ini sebelumnya menikmati tarif rendah atau bebas bea, namun kini harus menanggung tambahan 32%, mengikis daya saing harga Indonesia dibanding negara pesaing.

Dampaknya tak berhenti di angka ekspor. Industri padat karya yang menopang jutaan tenaga kerja seperti alas kaki dan tekstil berpotensi menghadapi tekanan produksi dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) jika pesanan dari AS anjlok signifikan.

Meskipun dikenakan tarif 32%, beban ini masih lebih ringan dibanding negara pesaing utama di sektor yang sama. China dan Kamboja, misalnya, kini harus menghadapi tarif hingga 54% dan 49%, sementara Vietnam dibebani 46%.

Artinya, secara relatif, produk alas kaki dan pakaian asal Indonesia kini berada dalam posisi lebih kompetitif dari sisi tarif.

Data ekspor HS61 (apparels) menunjukkan pangsa pasar Indonesia ke AS hanya 4,9%, jauh di bawah China (22,4%) dan Vietnam (18%). Jika Indonesia mampu merebut 10% pangsa pasar dari para pesaingnya yang kini terdampak lebih berat, potensi tambahan ekspor mencapai US$6,4 miliar.

Potensi yang sama terlihat di HS64 (alas kaki). Saat China dan Vietnam memegang dominasi dengan pangsa 36,2% dan 32,2%, Indonesia baru menyentuh angka 9,3%. Padahal, kualitas dan kapasitas produksi RI di sektor ini tidak jauh berbeda, bahkan lebih kompetitif dalam hal biaya tenaga kerja dan sumber bahan baku.

Di tengah ketidakpastian, posisi relatif ini justru membuka peluang ekspansi. Perusahaan Indonesia dapat meningkatkan penetrasi pasar dengan memanfaatkan selisih tarif dan menjalin kerja sama jangka panjang dengan buyer di AS yang mencari alternatif pasokan dari negara dengan tarif lebih rendah.

Peluang ekspor Indonesia di luar AmerikaFoto: Kemenko Perekonomian
Peluang ekspor Indonesia di luar Amerika

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |