Jakarta, CNBC Indonesia - Banjir dahsyat kembali melanda Pakistan timur, menewaskan lebih dari 170 orang, dengan separuh korban jiwa merupakan anak-anak. Tragedi ini menambah daftar panjang bencana iklim yang kian sering melanda negara berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa tersebut.
Jumlah korban jiwa ini terungkap melalui data terbaru dari Otoritas Manajemen Bencana Nasional Pakistan (NDMA).
Hanya dalam 24 jam terakhir, tercatat 54 orang tewas akibat hujan deras yang mengguyur provinsi terpadat di negara itu, Punjab, menyebabkan rumah-rumah runtuh dan infrastruktur jalan rusak parah. Sejak banjir mulai menerjang pada 26 Juni lalu, sedikitnya 85 anak-anak telah dilaporkan meninggal dunia, kata NDMA dalam laporannya pada Kamis (18/7/2025), dilansir CNN International.
Lembaga kemanusiaan kini mengkhawatirkan keselamatan anak-anak, yang sangat rentan terhadap risiko tenggelam maupun penyakit mematikan akibat air yang tercemar.
Pemerintah telah menyatakan status darurat di sejumlah distrik, dan militer dikerahkan ke kota Rawalpindi untuk membantu penanganan krisis. Video dramatis yang dibagikan oleh Otoritas Manajemen Bencana Punjab menunjukkan tim penyelamat mengevakuasi anak-anak menggunakan perahu karet, sementara air bah menelan seluruh ladang dan jalan raya.
Adapun hujan lebat masih terus menghantam Rawalpindi dan ibu kota negara Islamabad. Menurut Departemen Meteorologi Pakistan, lebih dari 100 milimeter curah hujan tercatat di beberapa wilayah pada Kamis, dan diperkirakan curah hujan deras akan berlanjut pada Jumat.
Banjir tak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menghancurkan mata pencaharian warga. Mahar Hammad, seorang pekerja harian dari distrik Sargodha di Punjab, menceritakan bagaimana banjir merusak rumah dan sumber penghasilannya.
"Atap rumah saya rusak dan air mulai merembes masuk karena hujan. Saya mengalami kerugian besar," ujarnya kepada CNN.
"Saya menjual sayuran untuk hidup, tapi semuanya terendam. Saya hanya pekerja biasa, berjuang sepanjang hari hanya untuk mendapatkan 1.000 rupee, dan sekarang semuanya habis untuk menutupi kerugian."
Ancaman Penyakit Mengintai
Pemerintah Pakistan telah mendirikan tujuh kamp bantuan banjir di seluruh negeri, menyediakan makanan, air bersih, obat-obatan, dan tempat tinggal sementara bagi warga yang terdampak.
Namun, ancaman penyakit menular berbasis air seperti diare, demam berdarah, dan malaria sudah mulai mengintai. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap serangan penyakit ini. Pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa dampak kesehatan dari banjir dapat bertahan lama setelah air surut.
Pada 2022, banjir terparah dalam sejarah Pakistan menyebabkan sepertiga wilayah negara itu terendam, dengan lebih dari 1.000 orang tewas dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal serta akses terhadap air bersih dan layanan kesehatan. Menurut UNICEF, empat juta anak-anak masih tidak memiliki akses ke air bersih satu tahun setelah banjir besar 2022.
Adapun Pakistan berada di garis depan krisis iklim global yang dipicu oleh ulah manusia. Negara ini terdampak oleh dua sistem cuaca ekstrem: gelombang panas dan kekeringan, serta monsun deras yang terus-menerus.
"Ini bukan sekadar cuaca buruk-ini adalah gejala nyata dari krisis iklim yang semakin cepat," tulis Senator Sherry Rehman, mantan Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Pakistan, di platform X.
"Berapa banyak lagi peringatan yang kita butuhkan sebelum kita benar-benar membangun ketahanan dan kesiapsiagaan dalam perencanaan kota kita?"
Gelombang panas ekstrem yang terjadi awal tahun ini mempercepat pencairan gletser di wilayah utara Pakistan, memicu banjir bandang sebelum musim hujan tiba. Peristiwa tersebut menjadi pemanasan sebelum datangnya musim monsun yang kini melumpuhkan sebagian besar Pakistan timur.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: BMKG: Hujan Lebat Masih Ancam Jabodetabek, Waspada Banjir Lagi!