Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
24 December 2025 13:17
Jakarta, CNBC Indonesia- Harga emas dunia resmi memasuki wilayah sejarah baru. Pada perdagangan Selasa (23/12/2025), emas ditutup menguat 0,95% ke US$4.487,81 per troy ons, memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa.
Secara intraday, harga bahkan sempat menyentuh US$4.499,57, hanya berjarak sangat tipis dari level psikologis US$4.500 yang selama ini dianggap sebagai batas ekstrem pasar emas global.
Rekor tersebut tidak berhenti di situ. Pada perdagangan Rabu (24/12/2025) hingga pukul 06.44 WIB, harga emas spot kembali menguat 0,40% ke US$4.505,59 per troy ons.
Dengan ini, emas tidak hanya mencetak rekor penutupan, tetapi juga berhasil menembus dan bertahan di atas level US$4.500, sebuah zona harga yang dalam sejarah logam mulia hanya muncul ketika dunia berada dalam tekanan sistemik.
Meningkatnya ketidakpastian geopolitik dan ekonomi telah mendorong permintaan terhadap emas yang secara historis cenderung memiliki tingkat independensi tertentu dari pergerakan harga saham. Sementara itu, volatilitas di pasar obligasi serta pelemahan nilai dolar Amerika Serikat (AS) telah mengguncang aset alternatif lain yang biasanya dipandang sebagai instrumen lindung nilai (safe haven).
"Pergerakan harga ini telah mencetak sejarah," ujar Jim Wyckoff, analis pasar senior di Kitco Metals, kepada ABC News.
Namun demikian, harga emas juga memiliki volatilitasnya sendiri, terutama ketika pembeli masuk ke pasar di level harga yang sudah tinggi-yang justru berisiko menimbulkan kerugian alih-alih memberikan perlindungan nilai, menurut para analis.
"Pasar komoditas mentah selalu melalui siklus boom dan bust. Saat ini kita berada dalam fase boom untuk emas dan perak," tambah Wyckoff.
Lonjakan harga emas dan perak terjadi di tengah kondisi ekonomi yang goyah dan ketegangan global yang terus berlanjut.
Pasar tenaga kerja melambat dalam beberapa bulan terakhir, sementara inflasi bertahan hampir satu poin persentase di atas target Federal Reserve sebesar 2%. Pada saat yang sama, konflik geopolitik membayangi, seiring meningkatnya tekanan Amerika Serikat terhadap Venezuela serta aksi saling serang antara Rusia dan Ukraina.
Logam mulia secara luas dipandang sebagai lindung nilai terhadap gejolak geopolitik karena nilainya yang telah diakui selama ribuan tahun dan dianggap mampu bertahan melewati berbagai krisis.
"Itulah katalis yang mendorong harga emas lebih tinggi," tambah Wyckoff.
Pelarian investor ke emas di saat gejolak pasar didukung oleh bukti selama beberapa dekade, menurut analisis yang ikut ditulis pada 2020 oleh Campbell Harvey, profesor di Fuqua School of Business, Duke University, yang meneliti harga komoditas. Para peneliti menemukan bahwa harga emas naik dalam tujuh dari sembilan aksi jual besar pasar saham sejak akhir 1980-an.
Lonjakan harga emas ini juga bertepatan dengan pelemahan nilai dolar AS. Nilai dolar terhadap mata uang lain anjlok sekitar 11% sepanjang paruh pertama 2025-penurunan terbesar dalam lebih dari 50 tahun-menurut laporan Morgan Stanley pada Agustus.
Lonjakan ini mencerminkan perubahan mendasar dalam perilaku investor global. Emas telah bertransformasi menjadi barometer ketidakpastian geopolitik dan moneter dunia. Ketika emas naik sedemikian tajam dan cepat, pasar sejatinya sedang menyampaikan pesan bahwa stabilitas global sedang dipertanyakan.
Salah satu katalis terkuat datang dari memburuknya hubungan antara Amerika Serikat dan Venezuela. Pemerintahan Presiden Donald Trump mengumumkan blokade terhadap seluruh kapal tanker minyak Venezuela, sebuah langkah yang secara langsung meningkatkan risiko geopolitik di pasar energi dan perdagangan global.
Ketegangan ini segera diterjemahkan pasar sebagai ancaman terhadap pasokan, stabilitas politik Amerika Latin, serta potensi eskalasi konflik yang lebih luas.
Menurut Tim Waterer, Chief Market Analyst KCM Trade, ketegangan AS-Venezuela membuat emas tetap berada di pusat perhatian investor sebagai hedge terhadap ketidakpastian. Ketika konflik geopolitik meningkat, emas menjadi salah satu dari sedikit aset yang tidak terikat pada risiko gagal bayar, sanksi, atau kebijakan pemerintah.
Namun dorongan emas tidak hanya berasal dari geopolitik. Faktor makroekonomi, khususnya arah kebijakan Federal Reserve, memainkan peran yang sama pentingnya. Setelah melakukan tiga kali pemangkasan suku bunga sepanjang 2025, pasar kini memproyeksikan dua kali pemangkasan tambahan pada 2026, terutama dengan kemungkinan Presiden Trump menunjuk Ketua The Fed yang lebih dovish pada awal Januari.
Ekspektasi pelonggaran moneter ini mengubah struktur insentif di pasar keuangan. Suku bunga yang lebih rendah menekan imbal hasil obligasi dan instrumen berbunga lainnya, sehingga emas yang tidak memberikan bunga menjadi relatif lebih menarik sebagai penyimpan nilai jangka panjang. Dalam lingkungan suku bunga rendah, biaya peluang memegang emas mendekati nol.
Situasi ini diperparah oleh pelemahan dolar AS. Sepanjang 2025, indeks dolar tercatat turun sekitar 9%, mencatatkan kinerja tahunan terburuk dalam delapan tahun. Bagi investor global, emas menjadi alat lindung nilai ganda, melindungi nilai dari ketidakpastian geopolitik sekaligus dari erosi daya beli mata uang utama dunia.
Di balik pergerakan harga, arus permintaan institusional menunjukkan bahwa reli ini bersifat struktural. Menurut World Gold Council, bank sentral dunia diperkirakan membeli sekitar 850 ton emas pada 2025. Pembelian ini mencerminkan strategi diversifikasi cadangan devisa di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan kekhawatiran terhadap dominasi dolar AS.
Selain bank sentral, dana investasi global juga masuk deras ke emas. ETF emas fisik mencatatkan arus masuk sekitar US$82 miliar sepanjang 2025, setara dengan 749 ton emas, tertinggi sejak 2020. Lonjakan ini menunjukkan bahwa investor institusional dan ritel global tidak lagi memandang emas sebagai aset spekulatif, melainkan sebagai pilar utama portofolio defensif.
Pembelian bank sentral, arus dana ETF, serta permintaan lindung nilai geopolitik telah mendorong harga emas naik lebih dari 70% sepanjang 2025, menuju kinerja tahunan terbaik sejak 1979. Goldman Sachs bahkan memproyeksikan harga emas dapat mencapai US$4.900 per troy ons pada 2026, dengan risiko kenaikan yang masih terbuka.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)

5 hours ago
2

















































