Jakarta, CNBC Indonesia - Dewasa ini, semakin banyak orang yang mulai memanfaatkan solusi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) untuk mendorong produktivitas hingga efisiensi. Lantas, tanggung jawab siapa jika AI salah mengambil keputusan?
Menanggapi hal itu, Deputy EGM Digital Product Telkom, Fauzan Feisal mengatakan, dalam merancang sebuah sistem AI, pihaknya tidak menyerahkan 100% keputusan terhadap robot, tetapi turut melibatkan manusia atau human in the loop. Artinya, robot tidak sepenuhnya memiliki kewenangan. Selalu ada intervensi, pengawasan, maupun persetujuan dari manusia itu sendiri.
"Walaupun dengan AI itu yang kita tata bukan lagi human in the loop. Harus ada human, tapi adalah distribusi decision," ujar dia dalam Coffee Morning Tech & Telco Edition, dikutip Kamis (13/11/2025).
Berkaca pada pengalaman Telkom, Fauzan menyebut bahwa pihaknya berfokus pada distribusi keputusan atau pembagian kewenangan antara manusia dan sistem AI secara optimal. Agar AI tidak menjadi bumerang bagi manusia, maka diperlukan pengaturan terkait tata kelola yang komprehensif terhadap AI.
Pengaturan ini ditujukan untuk mengetahui apa saja keputusan yang bisa atau tidak boleh diambil oleh AI.
"Apa saja keputusan yang boleh dan tidak boleh diambil, dan ketika itu boleh diserahkan, full dilakukan oleh robotnya. So it's about governance ya, mengaturnya. But at the end of the day, commonly akan kita rasakan human in the loop sih pasti," kata dia.
Lebih jauh, Telkom mengakui bahwa awal dari pengembangan AI harus dilakukan dari penataan data yang kemudian akan menjadi fondasi pertama dalam penyusunan peta jalan (roadmap) AI bagi perusahaan.
Pada 2026 mendatang, dia bilang, Telkom akan fokus memperkuat integrasi AI terhadap proyek-proyek besar sekaligus memperluas pemerataan penggunaan AI agar teknologi ini bisa diakses hingga ke level UMKM. Selain itu, seiring dengan berkembangnya adopsi AI, Telkom juga hendak mereformasi kebijakan kemitraan agar kolaborasi menjadi lebih cepat.
"Biasanya kalau mau bermitra dengan Telkom itu luar biasa panjang, lama-lama ya maklum perusahaan giant gitu ya. Jadi itu salah satu yang akan kami reformasi adalah cara berkolaborasi dan berpartnership. Prosedur itu satu critical, penting," jelas dia.
Meski tergolong sangat menjanjikan, kata dia, pengembangan AI bukan hal yang mudah dilakukan oleh pelaku usaha. Apalagi, hampir 90% perusahaan di dunia yang mengadopsi AI belum mampu balik modal. Dengan demikian, keputusan untuk berinvestasi pada AI harus dilakukan secara matang dan penuh pertimbangan.
Tak hanya itu, adopsi AI juga bakal lebih menantang ketika terdapat gap teknologi atau kapabilitas antar wilayah. Sebagai contohnya, ia menceritakan bahwa perkembangan solusi digital di Jawa, khususnya Jakarta, sudah sangat rumit. Banyak korporasi kini menuntut sistem analitik big data yang kompleks. Namun, kondisi berbeda terlihat di wilayah Indonesia Timur yang masih berada pada tahap dasar pemanfaatan teknologi.
Fauzan menekankan, untuk mendorong pemerataan pemanfaatan teknologi AI di Indonesia, diperlukan aktor baru yang ia sebut sebagai "pasukan ketiga". Pasukan ini adalah startup lokal dan pelaku usaha teknologi di daerah yang mampu membawa demokratisasi teknologi.
"Kalau saya nyebutnya pasukan ketiga. Teman-teman startup pengusaha lokal yang bisa membawa demokratisasi teknologi ke seluruh Indonesia," tandas dia.
(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Telkomsel Gandeng ITB Hadirkan AI Innovation Hub

2 hours ago
2

















































