Dilematisasi Pemprov Kalbar : antara Pertumbuhan Ekonomi dan Kehancuran Ekologis

2 weeks ago 18

FOTO : Samadi [ ist ]

KALIMANTAN Barat terus mengalami kerusakan lingkungan yang semakin masif, ditandai oleh pencemaran sungai, deforestasi besar-besaran, dan degradasi ekosistem.

Di balik semua ini berdiri Pemerintah Provinsi Kalbar yang tampak lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang menjaga kelangsungan ruang hidup rakyatnya.

Komitmen terhadap lingkungan tidak hadir dalam bentuk kebijakan konkret, melainkan sebatas jargon administratif yang tak diiringi tindakan nyata.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Kalbar tumbuh sebesar 4,90 persen pada tahun 2024, dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp300,16 triliun dan PDRB per kapita sebesar Rp52,70 juta.

Pertumbuhan ini ditopang oleh sektor yang secara langsung menyumbang kerusakan ekologis: perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Meski secara statistik pertumbuhan ini dianggap positif, realitas di lapangan menunjukkan bahwa ekspansi ekonomi tersebut meninggalkan jejak kerusakan yang dalam.

Minimnya perhatian pemerintah terhadap dampak lingkungan tercermin dalam berbagai kasus pencemaran yang terus berulang. Pada Januari 2025, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) BPG 10 di Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya, tercatat membuang limbah cair Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) langsung ke Sungai Kapuas.

Sungai ini merupakan sumber air bagi ribuan warga. Akibat pencemaran, masyarakat mengalami gangguan kesehatan dan kehilangan akses terhadap air bersih. Namun, hingga kini, pemerintah belum menunjukkan tindakan hukum atau administratif yang tegas terhadap perusahaan tersebut. Pengawasan lemah, penindakan nyaris nihil.

Tak jauh berbeda, di Kabupaten Kayong Utara, sungai Desa Pangkalan Buton mengalami pencemaran akibat aktivitas tambang pasir ilegal. Air sungai berubah keruh, ekosistem rusak, dan masyarakat kembali menjadi korban.

Meski warga menyampaikan protes dan keluhan, aktivitas penambangan tetap berlangsung tanpa hambatan. Pemerintah daerah kembali absen dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur dan pelindung lingkungan hidup.

Kedua kasus ini memperjelas bahwa Pemprov Kalbar gagal melindungi sumber daya alamnya secara menyeluruh. Pemerintah tampak lebih akomodatif terhadap kepentingan investor ketimbang terhadap kebutuhan dasar warganya.

Alih-alih memperketat regulasi dan penegakan hukum, kebijakan yang muncul justru cenderung membuka ruang lebih luas untuk eksploitasi sumber daya tanpa pengawasan berarti.

Struktur ekonomi Kalbar yang masih ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (22,83% kontribusinya terhadap PDRB) seharusnya menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam.

Namun realitas di lapangan justru menunjukkan arah sebaliknya. Deforestasi terus terjadi, wilayah tangkapan air rusak, dan kawasan lindung tak lagi aman dari ekspansi industri.

Pendekatan pembangunan yang terus menomorsatukan angka pertumbuhan, sambil mengabaikan daya dukung lingkungan, telah menjadikan Kalbar sebagai contoh buruk dari model pembangunan yang tidak berkelanjutan.

Di banyak wilayah, masyarakat adat kehilangan hak atas tanah ulayat mereka, petani kesulitan mengakses air bersih, dan kerusakan ekosistem menyebabkan hilangnya sumber penghidupan tradisional.

Untuk membalik keadaan, diperlukan langkah tegas dari pemerintah. Moratorium izin tambang dan sawit di kawasan kritis harus diberlakukan segera.

Audit independen terhadap pabrik dan industri yang beroperasi di sepanjang daerah aliran sungai mutlak dilakukan.

Penegakan hukum harus menjadi alat korektif yang nyata, bukan sekadar ancaman kosong. Tanpa keberanian politik dalam menghadapi pelaku perusakan lingkungan, kerusakan yang terjadi akan semakin tak terkendali.

Kalimantan Barat tidak bisa terus dijadikan ladang eksploitasi. Ruang hidup masyarakat bukan komoditas. Pemprov Kalbar memiliki tanggung jawab untuk mengatur, mengawasi, dan melindungi lingkungan sebagai bagian dari mandat konstitusional.

Tanpa langkah nyata dan konsisten, krisis ekologis hanya akan meluas dan memperdalam ketimpangan sosial yang sudah ada.

Pertumbuhan ekonomi yang sehat adalah pertumbuhan yang berpijak pada keberlanjutan, bukan yang berdiri di atas kerusakan.

Kalbar tidak membutuhkan pembangunan yang mengesampingkan masa depan, tetapi pembangunan yang mampu menjamin bahwa generasi berikutnya masih bisa hidup layak di tanah yang sama.

Oleh : Samadi S. Ag [ Kabid Riset dan Analisis Gerakan Humanisme ]

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |