Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
MASIH soal tarif bea masuk dari Paman Sam. Setelah membahas upaya China melawan AS, sekarang giliran Vietnam.
Sambil seruput kopi Vietnam, mari kita dalami negeri Nguyen melawan kesombongan Donald Trump.
Vietnam pernah bikin Amerika kocar-kacir. Bukan dalam kontes cosplay atau lomba TikTok, tapi dalam perang beneran. Tentara Vietkong bersembunyi di hutan, makan nasi kepal, dan bikin jebakan yang bisa bikin tentara Amerika nyangkut kayak kabel headset.
Hasilnya? Amerika mundur, pulang, dan sejak saat itu menyimpan satu rasa, dendam nasional berskala emosional.
Tahun demi tahun berlalu. Dunia berubah. Teknologi canggih, TikTok mendunia, dan hubungan internasional mulai membaik. Tapi Amerika? Masih ngambek. Kalau dulu perang pakai senapan, sekarang mereka perang pakai tarif. Vietnam jadi sasaran favorit.
Di antara semua negara ASEAN yang polos, imut, dan penuh harapan, Vietnam dihantam tarif impor tertinggi, 46 persen. Gila..gila..! Ini bukan sekadar angka, ini deklarasi dendam terselubung.
“Kalian menang perang? Sip. Nih, coba ekspor kursi lipat ke kami. Bayar dulu hampir separuh harganya.”
Vietnam? Kaget. Mereka pikir semua sudah baik-baik saja. Bahkan, mereka dengan tulus bilang, “Hei, kami siap kok me-nol-kan tarif untuk barang-barang dari Amerika.
Asal kalian juga sopan, ya, kasih kami tarif ringan juga.” Itu bukan tanda menyerah, itu strategi. Mereka kasih umpan. Kalau ini catur, Vietnam lagi ngorbanin pion buat jebak raja.
Tapi Paman Sam kayaknya masih trauma. Atau mungkin dia pikir, kalau tidak bisa menang pakai peluru, coba pakai pajak. Seolah-olah spreadsheet bisa menebus kehormatan yang hilang di hutan belantara tahun 70-an.
Tentu saja Vietnam tidak tinggal diam. Negara ini punya DNA ngotot. Mereka langsung aktif, mendiversifikasi pasar ekspor, merayu Jepang, menggoda Kanada, dan bersolek di depan Uni Eropa.
Pokoknya siapa pun yang siap nerima barang mereka tanpa drama tarif, langsung disamperin. Amerika dicuekin dulu, biar kangen.
Sementara itu di dalam negeri, Vietnam perkuat industrinya. Mesin-mesin berdentam, pabrik-pabrik disulap jadi benteng produksi. Barang elektronik, tekstil, furnitur, semua disiapkan untuk menghadapi tarif seperti pendekar menghadapi badai.
Kalau itu belum cukup, Vietnam main trik, ubah kode barang, utak-atik label. Bahkan, ganti komponen supaya barang terlihat ‘tidak terlalu Vietnam’ ketika masuk pelabuhan Amerika.
Bayangkan seorang anak muda yang habis diputusin pacar, tapi tetap ngirim kado ulang tahun. Begitulah Vietnam. Tetap baik, tetap berharap, sambil ngebangun masa depan lebih cerah tanpa tergantung pada si mantan.
Sementara itu, meja diplomasi tetap ramai. Vietnam datang dengan senyum tipis dan suara halus, “Kami siap nolkan tarif untuk kalian. Ayo kita kerja sama.” Tapi di dalam hati, mereka menggumam, “Kita lihat siapa yang tertawa terakhir, ya.”
Paman Sam, dengan segala kebesaran dan ego historisnya, mungkin mengira dia masih pegang kendali. Tapi kita tahu, sejarah tidak pernah berpihak pada mereka yang underestimate negara kecil yang hobi bertahan hidup.
Vietnam bukan cuma jago perang gerilya, mereka sekarang juga jago perang dagang.
Jadi, 46 persen? Silakan. Vietnam tetap berdiri. Ekspor tetap jalan. Perjanjian dagang makin banyak. Bahkan sekarang mereka bisa nyengir sambil ngetik invoice. Karena dendam masa lalu boleh jadi belum reda, tapi masa depan selalu milik mereka yang bisa negosiasi sambil ngopi.
“Bang, Indonesia gimanalah?” Ah, sudah ada Pak Probowo memikirkannya. Kita mah bisanya seruput kopi.
#camanewak