Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, buka-bukaan pemanfaatan dari rencana penerbitan surat utang berdenominasi renminbi atau yuan China, yakni Dim Sum Bond, serta dolar Australia yaitu Kangaroo Bond.
Suminto mengatakan, serupa dengan surat utang yang diterbitkan untuk menyerap valuta asing (valas) lainnya, kedua surat utang baru pemerintah tersebut akan digunakan untuk pembiayaan APBN secara umum atau general financing.
"Penerbitan SBN kita, termasuk dalam valas (USD, EUR, JPY - dan nantinya kalau Dimsum dan Kangaroo) mostly digunakan untuk general financing atau pembiayaan APBN secara umum," kata Suminto kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/7/2025).
Oleh sebab itu, ia mengatakan, penerbitan dua surat itu nantinya bukan ditujukan untuk pembiayaan program atau proyek tertentu. "Dengan demikian tidak di earmark atau tidak ditentukan secara spesifik untuk membiayai kegiatan maupun proyek tertentu," ucap Suminto.
"Dan ini berbeda dengan thematic bond misalnya, green bond dengan underlying proyek-proyek green, atau blue bond dengan underlying proyek-proyek kemaritiman," tegasnya.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengungkapkan, sebetulnya dari sisi investor cenderung sangat antusias dengan rencana penerbitan dua surat utang valas baru pemerintah itu, yang rencananya akan terbit tahun ini.
Apalagi, ia menekankan saat ini kondisi likuiditas untuk yuan relatif ketat di pasar keuangan, karena semakin banyak perusahaan China yang meminta dibayar dalam bentuk mata uang yuan ketika Indonesia atau suatu negara impor barang-barang mereka.
"Jadi perlu ada tambahan likuiditas juga dalam bentuk Yuan, karena untuk ekspor kita masih dominan dibayar dalam bentuk dollar," tegas David.
Sementara itu, untuk kecenderungan penerbitan Surat Utang Kangguru, lebih disebabkan tingginya permintaan atau demand dari institusi keuangan asal Australia. "Kangaroo lebih dari sisi permintaannya yang cukup lumayan dari institusi-institusi keuangan asal Australia," paparnya.
Ekonom senior dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menambahkan, rencana pemerintah untuk menerbitkan dua surat utang non dolar itu juga bisa dibaca sebagai respons terhadap makin banyaknya investor global yang mulai mengurangi exposure terhadap dolar AS.
"Mereka mencari aset dalam denominasi mata uang lain. Pemerintah melihat ini sebagai peluang, dengan menerbitkan obligasi dalam mata uang Yuan, Yen dan AUD. Ketiga mata uang tersebut juga termasuk dalam kategori hard currency, yang relatif mudah ditransaksikan," tutur Wijayanto.
Mata uang yuan, hingga dolar Australia menurutnya juga masih banyak digunakan dalam perdagangan internasional Indonesia, baik dari sisi ekspor maupun impor.
"Kita juga bisa memanfaatkannya untuk membiayai impor dari negara-negara tersebut, dimana international trade dengan mata uang lokal saat ini makin populer," ungkap Wijayanto.
Mengutip data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia atau SULNI, yuan memang menjadi mata uang kedua yang mendominasi posisi utang luar negeri Indonesia, terutama di pihak swasta. Sedangkan dolar Australia masuk ke dalam 15 besar.
Per April 2025, utang luar negeri swasta dalam bentuk yuan China telah mencapai US$ 10,6 miliar dan pemerintah memegang US$ 11 juta. Dolar Australia senilai US$ 45 juta di sektor swasta dan di pemerintah US$ 963 juta.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aman! Chatib Basri Tegaskan Efek Trump Tak Ganggu Pasar Utang RI