Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah penilaian terbaru dari lembaga kajian militer, International Institute for Strategic Studies (IISS), memperingatkan bahwa Rusia dapat menimbulkan ancaman militer serius terhadap anggota NATO, khususnya negara-negara Baltik, pada awal 2027. Peringatan ini muncul di tengah dorongan pemerintahan Presiden AS Donald Trump untuk segera mencapai kesepakatan gencatan senjata dalam perang Rusia-Ukraina.
Dalam laporan yang dirilis Rabu (14/5/2025) malam waktu setempat, IISS menyatakan bahwa kemampuan Rusia untuk menantang aliansi NATO akan sangat bergantung pada apakah Trump berhasil menengahi akhir perang Ukraina dalam waktu dekat, serta apakah AS akan memulai penarikan atau pengurangan komitmennya dalam NATO setelahnya.
"Rusia dapat menjadi tantangan militer yang signifikan bagi sekutu NATO, terutama negara-negara Baltik, seawal tahun 2027," tulis IISS dalam laporannya, dikutip dari Newsweek.
Meski pertempuran di Ukraina masih berlangsung, kekhawatiran mulai bergeser ke apa yang akan dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin setelah perang berakhir.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menegaskan pada Maret lalu bahwa program persenjataan ulang Rusia menunjukkan ambisi yang melampaui Ukraina. Hal senada diungkap oleh mantan Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas yang memperingatkan, "ini hanya masalah waktu sebelum mereka memulai perang berikutnya."
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah tiba di Ankara pada Kamis untuk pembicaraan langsung dengan Putin, menyusul dorongan AS terhadap kesepakatan damai. Namun Putin tidak hadir, sementara Ukraina menuntut respons keras dari Trump.
Sementara diplomasi berjalan, IISS menyoroti kekhawatiran mendalam di antara para pemimpin NATO terkait potensi agresi Rusia terhadap Eropa bila Moskow melihat aliansi itu terpecah atau melemah secara militer maupun politik.
Ketahanan Militer Rusia
Menurut pernyataan Jenderal Christopher Cavoli, komandan Komando Eropa AS, kepada Kongres, meskipun mengalami kerugian besar di Ukraina, termasuk sekitar 3.000 tank dan 9.000 kendaraan lapis baja hanya dalam 1 tahun, Rusia diperkirakan akan mampu mengganti semua kerugian itu.
Pada akhir 2022, Menteri Pertahanan Rusia saat itu, Sergei Shoigu, mengumumkan rencana besar untuk restrukturisasi militer, termasuk pembentukan kembali distrik militer Moskow dan Leningrad, serta menambah jumlah personel aktif menjadi 1,5 juta tentara.
Laporan intelijen Estonia yang dikutip IISS pada Februari 2024 memperingatkan bahwa jika reformasi ini berhasil, NATO dapat menghadapi "militer bergaya Soviet" dalam dekade mendatang. Militer ini mungkin lebih inferior secara teknologi dibanding NATO, kecuali dalam peperangan elektronik dan serangan jarak jauh, namun daya serangnya tetap besar.
Kepala staf pertahanan Inggris, Laksamana Sir Tony Radakin, juga memperkirakan butuh 5 tahun bagi Rusia untuk memulihkan kekuatan militernya ke tingkat sebelum perang, dan 5 tahun lagi untuk mengatasi kelemahan struktural yang terungkap selama perang.
Badan intelijen militer Denmark menambahkan bahwa jika AS tidak terlibat, Rusia bisa siap meluncurkan perang besar di Eropa dalam waktu sekitar 5 tahun. Mereka juga menyebut bahwa Moskow kemungkinan besar akan lebih bersedia menggunakan kekuatan militer terhadap negara anggota NATO bila menilai aliansi itu sedang terpecah atau tidak siap bertempur.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Putin Setuju Gencatan Senjata Dengan Ukraina Selama 3 Hari
Next Article Perang Rusia Vs NATO di Depan Mata, Pakar Militer Ungkap Buktinya