PTBA Beberkan Rencana Hilirisasi Batu Bara Menjadi Beberapa Produk

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bukit Asam Tbk (PTBA) merancang pengembangan hilirisasi batu bara, diantaranya hilirisasi menjadi dimethyl ether (DME), synthetic natural gas (SNG), artificial graphite, anoda sheet, hingga asam humat.

Kelak, rencana hilirisasi itu akan berpusat di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Di samping itu, kawasan industri tersebut diusulkan untuk bisa diutamakan menjadi kawasan ekonomi khusus yang bisa memberikan nilai tambah lebih banyak untuk negara.

"Nah, kawasan ini letaknya kurang lebih 216 km dari Palembang. Kalau jadi nanti ke sana, ya, kurang lebih kalau jalan darat, itu meskipun sudah ada jalan tol, masih ada waktu, kalau pakai patwal, kurang lebih 3,5 jam lah," ujar Direktur Utama PTBA, Arsal Ismail dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI, Jakarta, dikutip Selasa (6/5/2025).

Lantas, bagaimana detail rencana hilirisasi batu bara PTBA?

Batu bara menjadi Artificial Graphite dan Anoda Sheet

Rencana hilirisasi ini sedang dilakukan penelitian bersama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan sudah masuk tahap pemutakhiran desain berdasarkan persiapan pilot project yang telah dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh PTBA bersama BRIN sejatinya telah dilakukan sejak tahun 2024 lalu. Nah sekarang, sedang dalam tahap detail engineering design untuk proyek tersebut.

Ditargetkan, pada tahun 2026 mendatang bisa melakukan pengadaan pelaksana kontraktor dan MK hingga pelaksanaan konstruksi pilot plan. Dan di tahun 2029 masuk tahap tes comisioning dan masa pemeliharaan. Adapun Investasi proyek tersebut diperhitungkan mencapai Rp 287,39 miliar.

Batu bara menjadi Asam Humat

PTBA juga menginisiasi lahirnya hilirisasi batu bara menjadi asam humat dengan produksi 21 ton per tahun. Untuk penelitiannya, PTBA bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Proyek tersebut dilakukan penelitian dan pengembangan di Izin Usaha Pertambangan PTBA di Peranap, Riau.

Asam Humat sendiri, dinilai bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan agroindustri yang diperkirakan akan membutuhkan investasi mencapai Rp 5,74 miliar.

Adapun sekarang, hilirisasi ini sudah masuk ke dalam tahap komisioning prototipe asam humat di Jogja dan akan dilakukan mobilisasi prototipe ke Peranap dan masuk dalam tahap komisioning tahun 2025 ini.

Ditargetkan, pada tahun 2026 akan ada evaluasi kinerja prototipe dan penyusunan kajian teknologi ekonomi untuk potensi komersialisasi.

Batu bara menjadi SNG

PTBA bersama dengan PT PGN (PGAS) sedang merencanakan proyek hilirisasi batu bara menjadi SNG. Hilirisasi ini akan memanfaatkan hingga 8,7 juta ton batu bara kalori rendah yang bisa menghasilkan hingga 240 BBTUD SNG.

Kelak, PTBA akan menjadi pemasok batu bara hingga pembangunan pabrik dan konversi. Sedangkan PGN akan menjadi penyedia infrastruktur rencana proyek tersebut.

Saat ini, PTBA bersama dengan PGN tengah menyusun Head of Agreement (HOA) yang mana dalam waktu dekat, Arsal mengatakan pihaknya akan menyusun feasibility study (FS) untuk mengevaluasi aspek teknis, keekonomian, hingga formulasi harga yang kompetitif.

Arsal menargetkan, proyek hilirisasi ini akan masuk pada tahap FEED di tahun 2026. Sedangkan target pekerjaan konstruksi akan dimulai pada tahun 2028.

Dengan demikian, target operasi proyek dengan nilai investasi mencapai US$ 3,2 miliar ini bisa berjalan pada tahun 2032.

Batu bara menjadi DME

Terakhir, PTBA juga merencanakan akan mengembangkan hilirisasi batu bara menjadi DME, yang sejatinya sudah sempat berjalan bersama dengan partner dari Amerika Serikat (AS) yakni Air Products yang. Namun di tengah jalan Air Products hengkang.

Untuk melanjutkan proyek itu, Arsal menyatakan bahwa hanya perusahaan asal China yang menunjukkan minat untuk menggarap proyek tersebut di Indonesia. Perusahaan tersebut yakni East China Engineering Science and Technology Co. Ltd. (ECEC).

ECEC bahkan sudah mengajukan proposal awal pada 18 November 2024 lalu. Salah satu yang tertulis dalam proposal tersebut adalah biaya pemrosesan atau processing service fee (PSF) yang diajukan oleh ECEC sebesar US$ 412-488 per ton.

Meskipun memang, Arsal mengatakan bahwa minat China dalam menggarap proyek DME dalam negeri belum menunjukkan minat untuk berinvestasi penuh di Indonesia.

Adapun dalam paparannya, terdapat tantangan keekonomian untuk bisa menggarap proyek DME dalam negeri. Arsal memperhitungkan, harga DME yang dihasilkan di dalam negeri mencapai US$ 911- 987 per ton yang mana lebih tinggi dari asumsi pemerintah sebesar US$ 617 per ton.


(pgr/pgr)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Tarif Pada Obat Impor Diprediksi Akan Naikkan Harga Obat di AS

Next Article Mampu Jaga Keberlanjutan, Bos PTBA Raih Penghargaan Best CEO

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |