Pilar Kemitraan Industri Gizi demi Ketahanan Pangan

4 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pemahaman global tentang ketahanan pangan telah bergeser dari sekadar "cukup makan" menjadi "cukup gizi". Dalam konteks inilah, kemitraan strategis dengan industri nutrisi menjadi sangat krusial, bukan hanya untuk menjamin ketersediaan pangan, tetapi juga kualitas gizi yang menentukan kualitas hidup dan produktivitas warga negara.

Di tengah upaya mencapai tujuan pembangunan nasional dan bonus demografi 2045, Presiden Prabowo Subianto melalui visi Asta Cita menekankan pembangunan manusia Indonesia unggul sebagai prioritas utama. Tidak ada SDM unggul tanpa gizi yang kuat. Tidak ada ketahanan bangsa tanpa ketahanan pangan yang mencakup unsur keberlanjutan dan nutrisi.

Studi global dari Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang kehilangan hingga 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahun akibat kekurangan gizi kronis seperti stunting, anemia defisiensi besi, dan malnutrisi kronis lainnya. Angka ini setara dengan puluhan triliun rupiah.

Masalahnya bukan semata akses terhadap makanan, tapi kualitas makanan yang dikonsumsi, khususnya oleh kelompok rentan dalam populasi negara, yaitu ibu hamil dan menyusui, bayi, dan balita. Di sinilah industri nutrisi memainkan peran penting dengan teknologi pangan yang berkualitas untuk menghasilkan solusi cepat, terjangkau, dan berbasis teknologi untuk menyasar kekurangan zat gizi mikro, defisiensi zat besi, yodium, asam folat, dan zat gizi lainnya.

Namun, kemitraan dengan industri ini seringkali dipandang skeptis. Banyak tudingan tentang ancaman terhadap kedaulatan pangan atau potensi komersialisasi ruang publik. Padahal, jika dikelola dengan visi kebangsaan dan prinsip transparansi, kemitraan ini adalah bentuk nyata gotong royong sektor publik dan swasta untuk menyelamatkan masa depan bangsa.

Inovasi Gizi Ibu dan Anak

Dalam bidang kesehatan masyarakat, ada satu istilah yang menjadi titik krusial, yaitu 1000 Hari Pertama Kehidupan. Periode ini dimulai sejak konsepsi (kehamilan) hingga anak berusia dua tahun. Inilah jendela emas yang tak bisa diulang. Kekurangan gizi pada fase ini dapat menimbulkan dampak permanen berwujud gangguan perkembangan otak, lemahnya kekebalan tubuh, dan meningkatnya risiko penyakit tidak menular.

Publikasi di The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition menekankan bahwa intervensi nutrisi spesifik pada fase ini, seperti asupan zat besi, vitamin C dan A, hingga makanan tambahan terfortifikasi dapat meningkatkan IQ anak hingga 5 poin, memperbaiki tinggi badan hingga 10 cm, dan menurunkan risiko kematian anak hingga 25 persen.

Dalam aspek ini, industri nutrisi terbukti mampu menjadi mitra utama dalam mendukung intervensi nutrisi masyarakat. Produk inovatif seperti formula terapeutik, susu pertumbuhan terfortifikasi, hingga aplikasi digital skrining dan monitoring asupan gizi telah terbukti efektif di berbagai negara dengan beban stunting tinggi seperti Ethiopia, India, dan Bangladesh. Tentu pendekatan kemitraan ini sangat strategis bila diterapkan secara luas di Indonesia.

Dampak Besar Fortifikasi

Fortifikasi adalah salah satu strategi paling murah dan efektif dalam sejarah kesehatan masyarakat. Di negara maju seperti Belanda dan Jerman telah mewajibkan fortifikasi tepung dengan zat besi, prevalensi anemia turun drastis dalam satu dekade. Pendekatan fortifikasi lewat garam diperkaya yodium di Amerika Latin pun terbukti menurunkan prevalensi kelainan tiroid di kawasan itu.

Indonesia sebenarnya bukan pemain baru dalam bidang fortifikasi. Sejak 1994, pemerintah mewajibkan yodisasi garam konsumsi rumah tangga. Minyak goreng dan tepung juga sudah mulai, meskipun cakupan dan konsistensinya masih rendah. Riset Kementerian Kesehatan (2022) menunjukkan bahwa hanya 40 persen minyak goreng di pasaran mengandung kadar vitamin A sesuai standar.

Fortifikasi zat besi dan vitamin C dalam susu pertumbuhan juga terbukti efektif meningkatkan status gizi anak, dengan peran vitamin C meningkatkan penyerapan zat besi, sehingga kombinasi keduanya dalam susu pertumbuhan membantu mencegah anemia dan mendukung pertumbuhan optimal. Bahkan sudah ada bukti penelitian oleh Indonesia Nutrition Association yang menunjukkan bahwa balita yang mengonsumsi susu pertumbuhan terfortifikasi zat besi dan vitamin C selama enam tiga bulan saja mengalami peningkatan signifikan dalam status kesehatan dan pertumbuhan.

Inilah peluang strategis bagi pemerintah bekerja sama dengan industri nutrisi, tidak hanya untuk memperluas skema fortifikasi, tetapi juga memperkuat regulasi, insentif fiskal, dan pemantauan mutu produk. Kolaborasi riset antara universitas, lembaga kesehatan, dan perusahaan bisa menciptakan fortifikasi berbasis pangan lokal seperti beras, tempe, dan sagu.

Asta Cita dan Kemitraan

Asta Cita Presiden Prabowo secara eksplisit menyebut "meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia" sebagai misi prioritas. Peningkatan kualitas SDM bukan hanya melalui pendidikan dan pelatihan, tetapi juga dimulai dari perut, karena bagaimana mungkin generasi muda bisa berpikir kritis, kreatif, dan produktif bila sejak kecil kekurangan zat besi dan mengalami gangguan perkembangan?

Kemitraan dengan industri nutrisi, tentunya dalam koridor nasionalisme dan pengawasan publik, bisa menjadi langkah strategis mewujudkan Asta Cita tersebut. Ini bukan hanya soal efisiensi birokrasi, tetapi bentuk keberpihakan pada masa depan anak-anak Indonesia.

Ketakutan terhadap dominasi korporasi global dalam urusan pangan adalah narasi lama yang seringkali dibawa tanpa melihat kompleksitas zaman. Tentu, pengawasan harus kuat dan regulasi harus berpihak pada rakyat. Tapi menutup pintu terhadap teknologi dan investasi nutrisi adalah bentuk kemunduran.

Salah satu referensi global dalam kemitraan dengan industri nutrisi adalah praktik baik yang dilakukan di Brasil. Negara itu memiliki kebijakan "Public-Private Food System Dialogue" yang mempertemukan pemerintah, petani lokal, dan industri makanan besar dalam satu forum terbuka. Hasilnya, reformulasi produk makanan massal lebih sehat, akses petani lokal terhadap rantai pasok meningkat, dan kepercayaan publik tetap terjaga.

Kemitraan bukan berarti kehilangan kedaulatan. Justru, dengan strategi kolaboratif yang inklusif, negara bisa membentuk arah industri sesuai kebutuhan bangsa. Kemitraan ini semestinya ditempatkan sebagai bagian dari visi besar menjadikan Indonesia sebagai kekuatan gizi dunia, bukan sekadar pasar.

Agar kemitraan ini berjalan sehat dan strategis, perlu adanya regulasi transparan dan adaptif, Badan POM, Kementerian Kesehatan, dan kementerian teknis lain harus menyusun kerangka regulasi yang memudahkan inovasi, namun tetap menjaga keamanan dan keberlanjutan. Rantai pasok pangan dan dampak intervensi gizi harus dilacak secara sistematis.

Tentu kemitraan dengan industri perlu dibarengi dengan kolaborasi dengan universitas, NGO, dan lembaga riset. Kolaborasi dalam edukasi publik dengan inudsstri nutrisi juga perlu terus digalakkan karena masyarakat perlu dibekali pengetahuan nutrisi yang tidak bias merek.

Kemitraan dengan industri nutrisi, jika dilakukan dengan kesadaran penuh akan nilai-nilai bangsa dan prinsip keberlanjutan, bukanlah ancaman, melainkan peluang. Ini bukan sekadar kerja sama ekonomi, tetapi bagian dari cita-cita besar untuk membentuk peradaban Indonesia yang sehat jiwa dan raganya. Ketika gizi dijadikan prioritas, maka sesungguhnya kita sedang berinvestasi pada ketahanan bangsa yang paling mendasar.


(rah/rah)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |