Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan tarif Presiden Trump mengguncang dunia e-commerce. Akibat kenaikan bea masuk produk asal China hingga 145%, harga barang-barang di platform seperti Amazon melonjak tajam. Ini jelas menjadi pukulan bagi para pedagang dan konsumen.
Aaron Cordovez, pendiri Zulay Kitchen yang berbasis di Florida, mengatakan perusahaannya kini memindahkan produksi dari China ke India, Meksiko, dan negara lainnya. Meski begitu, proses ini diperkirakan membutuhkan waktu satu hingga dua tahun.
"Kami berusaha membuat stok kami bertahan selama mungkin," ujar Cordovez kepada CNBC Internasional, dikutip Senin (28/4/2025).
Sementara itu, Zulay terpaksa menaikkan harga produk yang dijual seperti milk frother dan kitchen strainer. Salah satu saringan dapur yang sebelumnya dijual US$9,99 (Rp168 ribuan) kini dibanderol US$12,99 (Rp219 ribuan).
SmartScout, perusahaan software e-commerce, mencatat ada 930 produk di Amazon yang mengalami kenaikan harga sejak 9 April, dengan rata-rata kenaikan 29%. Kategori yang terdampak mulai dari pakaian, perhiasan, perlengkapan rumah tangga, alat tulis kantor, elektronik, hingga mainan anak.
Amazon sendiri membantah lonjakan harga ini meluas dan dialami semua penjual. Mereka menyebut kenaikan harga hanya mencakup sebagian kecil dari total barang di Amazon, kurang dari 1% barang yang mengalami kenaikan harga.
Namun di lapangan, tekanan terhadap pedagang sangat nyata. Marketplace pihak ketiga Amazon, kini menghadapi dilema besar, yakni menaikkan harga atau menanggung sendiri lonjakan biaya. Bagi banyak penjual yang mengandalkan margin tipis, ini adalah ancaman eksistensial.
CEO Amazon Andy Jassy mengatakan pihaknya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menekan harga bagi konsumen. Namun ia juga mengakui, sebagian penjual pihak ketiga perlu membebankan biaya tambahan itu kepada konsumen.
Sejumlah nama besar seperti Anker, brand elektronik asal China, tercatat menaikkan harga sekitar 20% dari total produknya di AS. Misalnya, harga power bank Anker naik dari US$110 (Rp1,8 jutaan) menjadi US$135 (Rp2,2 jutaan).
Di sisi lain, perusahaan seperti Desert Cactus di Illinois juga mulai mengalihkan produksi ke Meksiko, India, dan Vietnam untuk mengurangi ketergantungan pada China.
(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Gak Cuma Biaya, Ini Penghambat Adopsi AI-Big Data di Fintech
Next Article 7 Raksasa Teknologi AS Langsung Tumbang Dihantam China