Perang Dagang dan Nasib Kontrak Pengadaan Pesawat Indonesia

9 hours ago 7

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Perang dagang yang dilancarkan oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah negara kini telah merambah sektor dirgantara. Beberapa waktu silam Presiden Donald Trump sudah menerapkan tambahan tarif 25 persen untuk semua baja dan aluminium yang diimpor oleh Amerika Serikat.

Data menunjukkan bahwa 58 persen kebutuhan aluminium Amerika Serikat dipasok oleh Kanada, sebab kini Amerika Serikat hanya mempunyai empat smelter aluminium saja dibandingkan beberapa dekade silam yang mencapai 30 smelter. Sebagai balasan, Kanada menerapkan tarif impor sebesar 25 persen terhadap barang-barang impor dari Amerika Serikat, sementara aksi balasan Uni Eropa akan efektif pada April 2025.

Tindakan Amerika Serikat yang menaikkan tarif impor terhadap produk aluminium dan baja dari Kanada dan negara-negara lain dipastikan akan mengganggu rantai pasok industri dirgantara global, mengingat aluminium dan baja ialah dua material yang digunakan secara luas selain komposit dan titanium. Industri dirgantara di Amerika Serikat seperti Boeing, Lockheed Martin, Northrop Grumman, Bell Textron, Airbus, GE Aerospace dan Pratt & Whitney mengandalkan pada rantai pasok global.

Boeing yang masih berupaya untuk kembali ke jalur pemulihan setelah kasus MCAS B737 MAX, kasus door plug B737 MAX 9 dan pemogokan serikat pekerja selama dua bulan pada 2024, dipastikan akan terkena dampak dari perang dagang yang ditabuh oleh Presiden Trump.

Sebagai ilustrasi, roda pendarat B777 diproduksi oleh Héroux-Devtek asal Kanada, sehingga tidak menutup kemungkinan Boeing menaikkan harga jual B737 MAX, B777X dan B787 kepada konsumen (maskapai penerbangan dan lessors) sebagai respons terhadap kenaikan bahan baku, parts dan komponen yang diimpor, sementara ekspor ketiga tipe pesawat ke negara yang menerapkan tindakan balasan terhadap Amerika Serikat akan membuat harga produk Boeing jauh lebih mahal dibandingkan sebelumnya.

Airbus memiliki Final Assembly Line (FAL) di Mobile, Alabama untuk keluarga A320neo dan A220 mungkin akan menaikkan harga jual kedua jenis pesawat yang dirakit di Amerika Serikat. Fuselage, tail dan sayap keluarga A320neo didatangkan dari Hamburg, Toulouse dan Prestwick guna dirakit di FAL Mobile, sementara fuselage, tail dan sayap A220 berasal dari Mirabel, Kanada yang dahulu dipunyai oleh Bombardier sebelum pabrikan Kanada itu menjual program CSeries kepada Airbus.

Bell Textron yang merupakan firma Amerika Serikat pun dipastikan akan terkena dampak dari penerapan tarif impor 25 persen oleh Washington, sebab fasiliitas produksi helikopter komersial Bell Textron terletak di Mirabel, Kanada. Begitu pula dengan Pratt & Whitney yang memiliki lini bisnis di Kanada yaitu Pratt & Whitney Canada yang memproduksi engine yang diadopsi oleh sejumlah pesawat terbang di dunia.

Pertanyaannya, bagaimana dampak perang dagang yang dilancarkan oleh Amerika Serikat terhadap negara-negara lain, khususnya pada sektor dirgantara? Bagi Indonesia, dampak dari perang dagang akan dirasakan baik oleh maskapai penerbangan niaga maupun pemerintah selaku konsumen pesawat terbang, khususnya pesawat terbang militer.

Dampak bagi maskapai penerbangan niaga akan dirasakan jika membeli atau menyewa pesawat terbang baru buatan Boeing yang diproduksi tahun 2025 ke atas seandainya Boeing tidak akan mau menyerap tarif impor bahan baku, parts dan komponen buatan Kanada dan negara-negara lain. Sementara pada sektor pertahanan, kenaikan harga nampaknya sulit dihindari untuk kontrak-kontrak yang telah ditandatangani sebelum 2025 namun sampai sekarang belum berstatus efektif.

Saat ini terdapat beberapa kontrak akuisisi pesawat terbang yang sudah diteken oleh Kementerian Pertahanan dengan pihak lain sebagai perantara Original Equipment Manufacturer (OEM). Kontrak-kontrak tersebut hingga sekarang belum memiliki loan agreement, apalagi dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) mengingat kondisi fiskal pemerintah yang sedang dalam tekanan berat.

Termasuk dalam kontrak itu adalah pengadaan dari Amerika Serikat yang melibatkan fasilitas produksi di wilayah Uni Eropa, sehingga terperangkap dalam perang dagang antara Amerika Serikat versus Uni Eropa. Terkait kontrak yang dimaksud, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, perubahan harga kontrak. Semakin lama suatu kontrak memasuki tahap efektif, maka semakin besar pula peluang bagi OEM untuk meminta amendemen kontrak kepada Kementerian Pertahanan karena alasan kenaikan harga bahan baku, parts maupun komponen.

Sebagaimana diketahui, asumsi harga yang ditetapkan dalam kontrak tidak dapat berlaku tanpa batas waktu, sementara setiap tahun atau per dua dua tahun terdapat kenaikan harga bahan baku, parts maupun komponen seiring dengan belum stabilnya rantai pasokan industri dirgantara global pasca pandemi Covid-19. Kenaikan harga tersebut terlepas dari ada atau tidak ada perang dagang yang melibatkan Amerika Serikat melawan negara-negara lain di dunia.

Kedua, kontrak terdampak perang dagang. Terdapat kontrak pengadaan pesawat terbang yang melibatkan OEM asal Amerika Serikat, di mana OEM tersebut akan memproduksi pesanan Indonesia di fasilitas yang berada di wilayah Uni Eropa.

Apabila tindakan balasan Uni Eropa terhadap Amerika Serikat pada April 2025 mencakup pula produk-produk yang tergolong sebagai bahan baku, parts dan komponen pesawat terbang, hal demikian akan mempengaruhi pesanan Indonesia yang akan diproduksi di salah satu negara Uni Eropa.

Produksi pesawat terbang pesanan Indonesia akan melibatkan pula parts dan komponen yang didatangkan dari Amerika Serikat, sebab pesawat terbang itu buatan Amerika Serikat. Tentu menjadi pertanyaan apakah OEM akan menyerap tarif yang dijatuhkan oleh Uni Eropa ataukah pabrikan akan meminta amandemen kontrak kepada Kementerian Pertahanan sebagai dampak perang dagang Amerika Serikat versus Uni Eropa.

Setidaknya terdapat dua kontrak akuisisi pesawat terbang oleh Kementerian Pertahanan yang berpotensi terkena dampak perang dagang Amerika Serikat melawan Uni Eropa. Satu kontrak lainnya ialah pesawat terbang buatan negara anggota Uni Eropa yang mengadopsi sistem pendorong asal Amerika Serikat, sementara terdapat rencana Uni Eropa guna menerapkan tarif untuk produk pesawat terbang dan associated equipment asal Amerika Serikat pada fase kedua.

Sebagaimana diketahui, pada tahap pertama Uni Eropa akan mengenakan tarif balasan pada produk pertanian dan finished consumer products dari Amerika Serikat. Jika Uni Eropa memasukkan produk pesawat terbang dan associated equipment sebagai bagian tindakan balasan kepada Amerika Serikat, tidak diragukan lagi hal demikian akan berpengaruh terhadap harga kontrak yang telah disepakati oleh Indonesia dengan OEM lewat pihak ketiga.

Perang dagang yang mencakup industri dirgantara sesungguhnya tidak menguntungkan siapapun mengingat bahwa industri tersebut menganut pendekatan rantai pasok global. Indonesia selaku konsumen industri dirgantara, tanpa mengabaikan status sebagai produsen pesawat terbang, akan terkena dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa, khususnya pada sektor pertahanan. Apakah Indonesia siap dengan kenaikan harga kontrak pengadaan sistem senjata?


(miq/miq)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |