Segudang Masalah Penyebab Ekonomi RI Awal 2025 Tak Sampai 5%

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah ekonom mengungkapkan segudang masalah yang membuat ekonomi Indonesia loyo pada kuartal I-2025. Terlepas dari masalah perang tarif dagang di tingkat global yang membuat prospek ekonomi dunia lesu, masalah ekonomi yang belum terbenahi menjadi penyebab ekonomi Indonesia pada awal tahun ini tak mampu tumbuh di atas 5%.

"Sudah cukup jelas bahwa saat ini ekonomi Indonesia menghadapi berbagai tantangan," kata Kepala Ekonom BCA David Sumual dalam acara Innovation Summit Southeast Asia 2025, Jakarta, Selasa (6/5/2025).

David mengatakan, ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh 4,87% pada kuartal I-2025 atau merosot dari laju pertumbuhan kuartal IV-2024 yang sebesar 5,02% dan bahkan anjlok lebih dalam dibanding pertumbuhan kuartal I-2024 sebesar 5,11%, salah satunya dipicu oleh daya beli masyarakat yang tak mampu pulih, setelah tertekan sepanjang 2024.

Sebagaimana diketahui, konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 54,53% terhadap ekonomi atau PDB Indonesia pada kuartal I-2025 hanya mampu tumbuh 4,89% yoy, jauh lebih buruk dari kondisi empat kuartal tahun lalu yang memang sudah di bawah 5% di kisaran 4,9%.

Terakhir kali pertumbuhan konsumsi rumah tangga tumbuh di atas 5% terjadi pada kuartal III-2023, yakni sebesar 5,05%. Setelahnya, yakni pada kuartal IV-2023 hanya tumbuh 4,47%, kuartal I-2024 tumbuh 4,91%, kuartal II-2024 sebesar 4,93%, kuartal III-2024 menjadi 4,91%, dan kuartal IV-2024 sebesar 4,98%.

Terus merosotnya komponen utama pendorong ekonomi itu disebabkan jumlah kelas menengah di Indonesia yang terus terkikis. Berdasarkan catatan BPS, Pada 2014, jumlah kelas menengah masih sebanyak 43,34 juta orang lalu pada 2019 menjadi 57,33 juta orang. Sementara itu, pada 2021 jumlahnya merosot menjadi sebesar 53,83 juta orang, sedangkan pada 2024 sudah tersisa 47,85 juta orang.

Golongan kelas menengah yang merosot itu masuk ke golongan kelas menengah rentan dan golongan kelas rentan miskin. Sebab, sejak masa pandemi dua golongan kelas itu mengalami peningkatan jumlah.

Pada 2019 jumlah kelas menengah rentan atau aspiring middle class sebanyak 128,85 juta, lalu pada 2021 menjadi 130,82 juta dan pada 2024 menjadi 137,50 juta. Sementara itu, jumlah kelas rentan miskin naik dari 54,97 juta orang, menjadi 58,32 juta orang, dan pada 2024 menjadi 67,69 juta orang.

Kelas menengah ini bahkan tercatat tak banyak yang naik kelas menjadi kelas atas, sebab kelas atas hanya naik dari 2019 sebanyak 1,02 juta orang menjadi 1,07 juta orang pada 2021, dan pada 2024 masih sebanyak 1,07 juta orang. Sedangkan kelas miskin terus turun dari 25,14 juta, menjadi 27,54 juta, dan pada 2024 menjadi 25,22 juta.

"Penurunan populasi kelas menengah dan konsumsi yang stagnan juga menjadi penghambat dari sisi dalam negeri," ujarnya.

David mengatakan, penciptaan lapangan kerja yang minim terutama karena deindustrialisasi dini menjadi masalah utama yang menyebabkan ambruknya data kelas menengah, yang berujung pada lemahnya daya beli masyarakat.

Kondisi deindustrialisasi ini tercermin dari distribusi industri pengolahan atau manufaktur terus merosot terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2014, berdasarkan catatan BPS peranan sektor industri manufaktur terhadap PDB masih 21,02%. Pada 2019 tersisa 19,7%, dan pada 2024 kian merosot menjadi hanya 18,98% dengan pertumbuhan hanya 4,43%.

"Pertumbuhan lapangan kerja yang tertinggal di sektor tersebut menghalangi populasi kelas menengah yang bercita-cita untuk meningkatkan taraf hidupnya secara sosial-ekonomi," tegas David.

Oleh sebab itu, untuk menangani masalah itu, tak ada pilihan lain bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk kembali menggalakkan industrialisasi di Indonesia sebagai sarana penciptaan lapangan kerja. Industrialisasi akan tercipta bila investasi marak masuk ke tanah air.

Investasi akan masuk bila regulasi di tanah air tidak berbelit, yang selama ini menjadi hambatan bagi investor untuk masuk. "Misalnya, modal yang harus disetor di Indonesia terlalu tinggi, Rp10 miliar dibandingkan hanya 2 ringgit di Malaysia. Ini salah satu penghambat investasi di Indonesia," tuturnya.

Selain itu, David juga menekankan, investor akan teratarik untuk terus berinvestasi di Indonesia bila perlindungan hak kekayaan intelektual diperkuat, seiring dengan upaya peningkatan pendidikan yang berkualitas, dan terus berkembangnya riset, maupun inovasi teknologi.

"Dengan menggabungkan fokus strategis, mengatasi hambatan sistemik, membangun ekosistem inovasi yang sesungguhnya, dan belajar dari keberhasilan relevan seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, Indonesia dapat meningkatkan basis industrinya dan mendorong masa depan ekonominya, kata David.


(arj/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Ekonomi RI Lesu di Kuartal I, Diramal Hanya Tumbuh 4,9%

Next Article Dunia Kembali Gelap di 2025, Pengusaha Usul Ini ke Prabowo

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |