Pelajaran Pahit dari Jepang: RI Juga Bisa Terancam Krisis Beras

13 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia- Krisis beras di Jepang menjadi pelajaran penting bagi dunia, termasuk Indonesia. Jepang yang menyandang status negara dengan kecukupan pangan besar kini dihadapkan pada ambruknya pasokan beras karena sejumlah faktor, mulai dari berkurangnya petani hingga perubahan iklim.

Krisis beras di Jepang sudah berlangsung sejak akhir tahun hingga membuat harganya melonjak. Harga beras pada pertengahan Maret 2025 di Jepang melonjak dua kali lipat dalam setahun terakhir. Harga satu kantong 5 kilogram mencapai hampir JPY 4.000 (Rp446.000). Artinya, 1 kg setara dengan Rp 89.376 atau hampir Rp 100.000.

Jepang bukan negara sembarangan. Ia punya teknologi pertanian kelas dunia, sistem logistik presisi, dan kebijakan pangan yang terstruktur. Namun pada 2024, negeri itu luluh lantak oleh krisis beras nasional.

Data Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang (MAFF) mencatat produksi beras 2023 hanya mencapai 6,73 juta ton, menurun drastis dibandingkan 2022 yang menyentuh 7,25 juta ton. Padahal konsumsi domestik beras Jepang tetap tinggi sekitar 7,36 juta ton per tahun.

Apa penyebabnya? Sepanjang 2023, Jepang dihantam oleh musim panas berkepanjangan yang mengganggu pertumbuhan padi. Laporan Japan Meteorological Agency menyebutkan suhu rata-rata musim panas 2023 menjadi yang terpanas dalam sejarah sejak 1898. Hasilnya, gagal panen di banyak prefektur, terutama wilayah barat seperti Kyushu dan Shikoku.


Lalu ada wabah krisis regenerasi petani, di mana lebih dari 70% petani Jepang berusia di atas 60 tahun. Regenerasi mandek. Anak muda enggan bertani, lahan tidur pun meluas. Menurut data Census of Agriculture and Forestry Japan 2020, dalam 20 tahun terakhir, jumlah rumah tangga petani menyusut hampir separuhnya.

Alih fungsi lahan dan urbanisasi juga menjadi sorotan, selama dua dekade terakhir, Jepang kehilangan lebih dari 400 ribu hektare lahan pertanian. Banyak sawah berubah jadi kawasan industri dan perumahan, apalagi di area suburban Tokyo, Osaka, dan Nagoya.

Lalu, ketergantungan pasar pada varietas premium seperti Koshihikari membuat distribusi rentan. Saat gagal panen menimpa varietas ini, pasokan langsung terguncang.

Kondisi ini memicu panic buying. Supermarket kehabisan stok, harga eceran melonjak lebih dari 30%, bahkan sempat menyentuh ¥540 per kg di Tokyo. Pemerintah akhirnya mengambil langkah darurat seperti impor dari Vietnam dan Thailand, di mana Jepang mengimpor 100 ribu ton beras pada awal 2024. Ini jadi momen langka mengingat Jepang sangat protektif terhadap sektor pertanian mereka.

Pemerintah Jepang juga menggelontorkan subsidi dan membuka stok cadangan beras nasional (Staple Food Control System).
Akhirnya, kampanye nasional pun digalakkan untuk mengurangi konsumsi beras dan beralih ke gandum atau mie. Padahal, banyak  makanan tradisional Jepang yang menggunakan bahan utama beras, seperti Onigiri, Sushi, Don, Senbei bahkan si kenyal Mochi.

Indonesia Wajib Belajar, Swasembada Bukan Final Destination

Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyebut Indonesia berhasil menyerap 1,5 juta ton beras dari petani hingga April 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) pun memperkirakan produksi beras nasional Januari-April mencapai 13,9 juta ton, jauh di atas kebutuhan konsumsi nasional sebesar 2,6 juta ton per bulan.

Dengan proyeksi penyerapannya mencapai2 juta ton sampai akhir tahun,Zulhasmenyebut99% kebutuhan beras nasional bisa dipenuhi tanpa impor hingga 2026. "Insya Allah kita tidak impor beras sampai tahun depan," tegasnya.

Namun, kondisi Jepang jadi cermin untuk Indonesia, produksi besar tak otomatis menjamin ketahanan pangan jangka panjang. Saat ini Indonesia memang patut berbangga, tapi euforia bisa menjebak jika tak disertai peringatan dini.

Kalau petani hanya diminta produksi tanpa ada jaminan harga beli yang adil, mereka bisa berhenti tanam tahun depan. Ini soal ekosistem, bukan panen sesaat.

Saat ini Bulog telah menyerap 1 juta ton gabah petani. Namun harga beli harus sesuai regulasi, yakni Rp 6.500/kg. Jika tidak, produksi 2026 bisa terancam dari hulu.

Zulhas menegaskan bahwa Indonesia kini tengah menggarap sistem pangan berbasis desa melalui koperasi kelurahan (Kopdes). Seluruh aktivitas ekonomi desa dari distribusi pupuk hingga sembako akan diintegrasikan dalam Kopdes.

Namun, sistem ini harus dibarengi dengan

  • Perlindungan harga & kepastian pasar bagi petani,

  • Revitalisasi lahan pertanian produktif,

  • Insentif bagi petani muda, dan

  • Adaptasi pada iklim ekstrem lewat varietas tahan cuaca dan irigasi modern.

Jepang adalah bukti bahwa krisis bisa datang diam-diam, bahkan di negeri yang pernah swasembada. Indonesia punya waktu untuk menyiapkan tameng. Tapi waktunya tidak banyak.

Swasembada yang sejati bukan tentang berapa banyak beras di gudang hari ini, tapi apakah kita bisa terus menanam dan menuai dalam 5, 10, 15 tahun ke depan. Jangan sampai Serabi terancam seperti Mochi. Jangan sampai kita hanya jadi berita gembira hari ini, lalu jadi kisah peringatan besok.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |