Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalimantan Barat]
MALAYSIA dikalahkan Thailand 0-1, yang salah Upin Ipin, kenapa tak besar-besar. “Bang, jangan nak suke nyenggol jiran ya!” Ups, maaf keceplosan.
Ini lho, Air Langga bilang, kenaikan PPN 12 % bukan keinginan pemerintah. Terus keinginan siapa, dong?
Sepertinya menarik untuk kita kupas sambil menikmati kopi liberika, kopi dua meter dari permukaan laut. Pagi semuanya…
Langit mendung di atas negeri ini. Angin berembus perlahan, membawa kabar dari istana, PPN naik jadi 12%. Suara itu lirih, tapi menusuk.
Siapa pelakunya? Siapa dalangnya? Lalu muncullah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dengan wajah tanpa dosa dan suara sejuk, berkata, “Ini bukan keinginan pemerintah.”
Kita semua terdiam. Jangankan memahami, logikanya saja sudah bikin jidat berkeringat.
Bagaimana mungkin ente, ya, ente yang duduk di kursi empuk dengan papan nama “pemerintah” di meja, berkata ini bukan keinginan ente?
Lalu siapa? Angin malam? Arwah nenek moyang? Atau mungkin wangsit dari langit ketujuh yang berbisik pelan, “Naikkanlah PPN menjadi 12 persen.”
Jangan salah, ini bukan keputusan asal-asalan. Ada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disebut-sebut sebagai biang kerok. DPR yang katanya wakil rakyat ikut mengamini.
Hampir semua fraksi setuju. Lalu, kita rakyat kecil, yang cuma bisa nonton sambil ngemil kacang rebus, disuruh percaya begitu saja. Yang ketok palu DPR, yang tanggung beban kita.
Sungguh peran rakyat yang dramatis, seperti figuran dalam film yang cuma muncul sekilas, tapi selalu kebagian paling menderita.
Bukan kemauan pemerintah, katanya lagi. Tapi yang ngeluarin kebijakan siapa? Bukan kita, bukan kamu, ya pemerintah juga.
Rasanya seperti seseorang yang menyalakan kompor, lalu berkata, “Bukan saya yang bikin dapur jadi panas.” Kalau bukan ente, lantas siapa?
Tak mau disebut tangan besi, maka pemerintah lemparkan pelipur lara, insentif.
Diskon listrik 50% untuk daya 2.200 VA ke bawah.
Oh, terima kasih. Tapi mari kita berpikir,
berapa banyak sih yang daya listriknya segitu?
Mau nyalain AC sambil masak nasi? Silakan pilih salah satu, rumah adem tapi kelaparan, atau perut kenyang tapi mandi keringat. Rakyat kecil disuruh hemat listrik, hemat tenaga, dan akhirnya hemat mimpi juga.
Lalu ada barang pokok tertentu yang PPN-nya ditanggung pemerintah. Tertentu? Istilah yang ambigu, kabur seperti janji cinta yang tidak pasti. Barang pokok apa? Beras? Minyak? Telur? Atau jangan-jangan cuma micin dan kerupuk saja? Kita cuma bisa menunggu, berharap definisi “tertentu” itu tidak merugikan.
Sementara itu, rakyat kebingungan. Harga naik, dompet kering, tapi pemerintah malah bilang, “Bukan kemauan kami.” Ah, pemerintah memang pintar bermain kata.
Naiknya pajak ini ibarat mantan yang tiba-tiba datang dengan senyum manis, berkata: “Aku nggak mau menyakitimu, tapi ini sudah takdir.” Mau bagaimana lagi? Kita cuma bisa pasrah, menangis dalam hati sambil merogoh saku yang semakin dangkal.
Siapa yang harus disalahkan? Tidak ada. Semua berpura-pura suci. Pemerintah bilang ini bukan maunya, DPR mengiyakan sambil geleng-geleng, dan rakyat, seperti biasa, diam dalam derita yang hening. Sebuah drama absurd dengan ending yang sudah bisa ditebak, kita tetap bayar pajak. Orang pintar bayar pajak.
#camanewak