Jakarta, CNBC Indonesia-Bimo Wijayanto akhirnya menjadi sosok yang dipercaya oleh Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengisi kursi panas Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Bimo mungkin bukan orang baru di instansi dengan 45 ribu pegawai tersebut. Hanya saja, namanya tidak familiar bagi publik.
Mengawali karir di Ditjen Pajak, Bimo dikenal sebagai sosok yang sangat piawai mengelola data dan terlibat dalam berbagai kebijakan strategis.
Dirinya sempat menjadi Kepala Seksi Dampak Makro Ekonomi di Sub-Direktorat Dampak Kebijakan kemudian dipercaya sebagai Analis Senior, Center for Tax
Analysis (CTA), Direktorat Jenderal Pajak (2014-2015), Bimo adalah team leader pertama dengan bidang keahlian modeling deteksi fraud dan irregularities juga analisis mikro-sektoral kepatuhan pajak.
Dari sisi akademis, lulusan Taruna Nusantara (TN) tersebut juga tidak kalah mentereng. Pada 2014, Bimo menyelesaikan program S3 di University of Canberra, Australia. Di akhir masa studi, Bimo memenangkan Hadi Soesastro Prize-Australia Awards dan memperpanjang masa penelitiannya dan post-doktoralnya di National Center for Social Economic Modeling, Canberra dan Duke Center for International Development, Duke University, North Carolina, USA.
Kecerdasan Bimo membawanya ke Kantor Staf Presiden sebagai Tenaga Ahli Utama. Saat Luhut Binsar Pandjaitan menjabat Menko Bidang Maritim dan Investasi, Bimo dipercaya sebagai Asisten Deputi Investasi Strategis, Kedeputian Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan.
Baru pada Desember 2024, Bimo bergabung ke Kemenko Perekonomian sebagai Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi.
Bimo adalah negosiator dan project leader untuk modul kepatuhan dalam pengembangan Project on Indonesian Tax Administration Reform (PINTAR) atas funding CTF 8 - WorldBank. Juga menjadi delegasi Direktorat Jenderal Pajak dalam workshop Tax Analysis dan Revenue Projection Studies di OECD Multilateral Center for Taxation, Ankara Turki.
Selain pengalamannya di Kementerian, mulai Juni 2019, Bimo mendapat penugasan sebagai komite audit di BUMN, PT Asuransi Jasindo. Selanjutnya Agustus 2019-Maret 2022 sebagai Komisaris di PT Inka Multi Solusi dan terakhir mulai Maret 2022 - sekarang sebagai Komisaris Independen PT Phapros Tbk.
Dirjen Pajak adalah posisi bergengsi. Tugasnya begitu strategis, terutama dalam mengumpulkan penerimaan negara dan pendorong perekonomian lewat berbagai insentif.
Pajak juga tak lepas dari sorotan publik. Keliru sedikit pasti menjadi hujatan manusia satu negara. Meski jika berhasil, pegawai pajak mendapatkan tunjangan hingga ratusan juta, jauh berbeda dibandingkan Aparatur Sipil Negara (ASN) lain.
Tak salah jika sebelum dilantik, Bimo dipanggil khusus oleh Presiden Prabowo ke Istana Negara. Sri Mulyani bahkan menyebutkan, harapan terhadap Bimo sangat tinggi.
"Kemenkeu sebagai pengelola tugas penerimaan negara harus mampu jawab kenaikan tax ratio, perbaikan system coretax, yang perlu untuk terus diyakinkan mampu memudahkan wajib pajak, memberikan pelayanan yang mudah, reliability dari sistem," kata Sri Mulyani.
PR Berat Dirjen Pajak
PR utamanya mulai dari pertumbuhan penerimaan pajak yang terus melandai dari 34,27% pada 2022, menjadi 8,87% dan 3,38% pada 2023 dan 2024, hingga rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau tax ratio Indonesia yang stagnan di kisaran 10% selama dua dekade terakhir.
Para pakar pajak sepakat, penanggulangan masalah penerimaan yang makin loyo dan tax ratio yang tak mampu meluas itu bermuara pada percepatan perbaikan sistem inti administrasi pajak atau coretax, yang masih terus bermasalah sejak implementasi pada 1 Januari 2025.
Salah satu yang menyampaikan hal ini ialah Pakar Pajak yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono.
"Pada saat ini, DJP punya pekerjaan rumah besar di pembenahan Coretax dan upaya mengerek rasio pajak," ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Prianto menegaskan, ujung dari tugas Ditjen Pajak adalah menggenjot penerimaan pajak agar target APBN tercapai. Salah satu obat mujarab untuk itu ialah Coretax yang menjadi dukungan teknologi untuk meningkatkan pendapatan berkesinambungan.
"Jadi, apapun strategi di DJP, akar masalahnya adalah dua hal, yaitu, pelayanan ke Wajib Pajak harus prima agar tercipta voluntary compliance, dan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak harus optimal. Kedua hal ini akan berujung pada target penerimaan pajak yang meningkat dan rasio pajak juga terkerek," tegas Prianto.
Pernyataan serupa disampaikan Manajer Riset dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Ia mengakui bahwa permasalahan Coretax masih terus menjadi perbincangan para profesional di sektor perpajakan hingga kini.
"Minggu ini saya telah berdiskusi dengan para profesional perpajakan, dan mereka masih mengeluhkan soal itu. Baik itu teknis sampai regulasi harus segera diselesaikan," tutur Fajry.
"Kalau permasalahan ini masih ada, bagaimana WP mau patuh? Padahal tujuan sebenarnya dari core tax untuk meningkatkan kepatuhan WP melalui kemudahan administrasi," tegasnya.
Di luar itu, Fajry menekankan, fokus lain dari Dirjen Pajak yang baru yang harus segera digarap adalah memajaki sektor ilegal atau informal yang sedari masa kampanye digembar-gemborkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
"Tentunya, Dirjen yang baru tersebut harus dapat memenuhi janji kampanye tersebut mengingat publik akan menagihnya," ungkap Fajry.
Kepala Pusat Riset Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menambahkan, Dirjen Pajak yang baru ini juga harus bisa memulihkan kepercayaan publik terhadap instansinya yang sempat drop akibat permasalahan kasus RAT dan rentetan setelahnya.
"Masyarakat menuntut sistem perpajakan yang tidak hanya adil, tetapi juga transparan dan bebas dari praktik penyalahgunaan wewenang," paparikan.
Selebihnya, Rizal sependapat bahwa Dirjen Pajak baru kini memang menghadapi stagnasi rasio pajak yang masih rendah, yakni sekitar 10% terhadap PDB, yang mencerminkan belum optimalnya potensi perpajakan nasional serta tantangan teknis yang juga muncul dalam proses digitalisasi melalui implementasi core tax system.
Rizal pada kesempatan itu juga menyarankan supaya Dirjen Pajak yang baru juga harus bisa membangun sistem pengawasan berbasis risk profiling dan analytics untuk memfokuskan pemeriksaan pada wajib pajak dengan risiko tinggi, dan setidaknya mampu memperkuat edukasi perpajakan digital khususnya bagi UMKM dan pelaku ekonomi kreatif.
"Penyelesaian sengketa pajak juga perlu diperbaiki agar lebih cepat dan adil melalui mekanisme administratif yang kuat," ucap Rizal.
(mij/mij)