Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Asia mayoritas tampil sangat perkasa melawan dolar Amerika Serikat (AS) di tengah pelemahan greenback belakangan ini.
Dilansir dari Refinitiv, mata uang Asia cenderung mengalami penguatan dengan yen Jepang yang paling terdepan yakni sebesar 10,6% secara year to date/ytd. Kemudian dolar Singapura mengalami penguatan sebesar 4,1%. Selanjutnya won Korea Selatan tampak mengalami apresiasi 3,8%.
Namun berbeda halnya dengan rupiah Indonesia yang terlihat ambruk 4,72% secara ytd.
Sementara indeks dolar AS (DXY) terpantau mengalami depresiasi lebih dari 9%.
DXY mengalami tekanan akibat berbagai faktor ekonomi global, termasuk ketidakpastian perdagangan yang dipicu oleh kebijakan tarif dan proteksionisme, yang mengurangi kepercayaan investor. Selain itu, data ekonomi AS seperti defisit perdagangan dan pemotongan pekerjaan semakin memperburuk kondisi DXY.
Investor asing mulai mengalihkan dana mereka ke aset yang lebih stabil atau menguntungkan, seperti obligasi negara lain atau mata uang alternatif. Penurunan yield obligasi pemerintah AS dan melemahnya posisi dolar sebagai mata uang cadangan dunia juga menjadi faktor utama dalam tren ini.
1. Serangan Trump ke Powell
Presiden Donald Trump kemarin Senin (21/4/2025) kembali meningkatkan tekanannya terhadap Chairman The Fed Jerome Powell, dengan menyebutnya sebagai "pecundang besar" dan memperingatkan bahwa ekonomi AS bisa melambat kecuali suku bunga segera diturunkan.
Serangan ini membuat dolar semakin tertekan karena semakin kuatnya ketidakpercayaan investor terhadap pemerintah AS yang mengganggu independensi The Fed.
"Pemangkasan suku bunga secara pre-emptif sedang diserukan oleh banyak pihak," tulis Trump di platform Truth Social.
Trump mengklaim bahwa saat ini "hampir tidak ada inflasi" di AS, dan bahwa biaya energi serta "sebagian besar barang lainnya" sedang menurun.
"Dengan biaya-biaya ini yang terus turun secara baik-seperti yang saya prediksi sebelumnya-maka hampir tidak mungkin ada inflasi. Tapi, bisa saja terjadi perlambatan ekonomi kecuali Tuan Terlambat, si pecundang besar, menurunkan suku bunga SEKARANG," tulis Trump.
Serangan terbaru Trump terhadap Powell muncul di saat Trump dan timnya sedang mengkaji apakah mereka secara hukum dapat memecat kepala bank sentral sebelum masa jabatannya berakhir pada Mei 2026. Sebagai catatan, Powell diangkat sebagai Chairman The Fed oleh Trump di masa jabatan pertamanya yakni pada 5 Februari 2018.
Powell telah secara tegas menyatakan bahwa presiden tidak memiliki kewenangan hukum untuk memecatnya.
Setiap upaya Trump untuk memecat Powell kemungkinan besar akan memicu aksi jual besar-besaran di pasar saham AS, menurut Krishna Guha, wakil ketua di Evercore ISI, dalam wawancara dengan CNBC pada Senin.
"Jika Anda mulai mempertanyakan independensi Federal Reserve, maka itu akan membuat Fed semakin sulit untuk memangkas suku bunga. Jika benar-benar mencoba memecat Ketua The Fed, saya rasa pasar akan bereaksi keras. imbal hasil obligasi naik, dolar melemah, dan saham dijual habis-habisan," kata Guha di acara "Squawk Box. CNBC International.
"Saya sulit percaya bahwa itulah yang ingin dicapai oleh pemerintahan saat ini," tambah Guha.
Pertikaian Powell-Trump sudah memanas sejak Trump memenangi pemilu.
2.
Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump memiliki dampak yang beragam terhadap ekonomi AS. Di satu sisi, tarif ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dengan mengenakan pajak lebih tinggi pada barang impor, terutama dari negara seperti China, Kanada, dan Meksiko. Namun, dampak negatifnya juga signifikan.
Para ekonom mencatat bahwa tarif ini meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor. Biaya tambahan ini sering kali dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memicu inflasi.
Selain itu, kebijakan ini memicu respons dari negara-negara lain, seperti China, yang menaikkan tarif pada produk AS, sehingga melemahkan daya saing ekspor Amerika.
Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, menyatakan bahwa kenaikan tarif yang telah diumumkan jauh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Ketidakpastian yang terus berlanjut terkait tarif ini dapat menyebabkan dampak ekonomi jangka panjang yang merugikan. Powell juga menyoroti bahwa situasi ini menciptakan tantangan besar bagi The Fed, dengan risiko pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, pengangguran yang meningkat, dan inflasi yang lebih tinggi terjadi secara bersamaan.
Powell menggambarkan situasi ini sebagai skenario sulit di mana dua tujuan utama The Fed, yaitu menjaga stabilitas harga dan mendukung lapangan kerja, saling bertentangan.
3. Potensi Resesi di AS
Ekonomi Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda resesi, yang memicu kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi global. Para ekonom mulai mempertimbangkan dampak potensial resesi ini terhadap AS dan dunia.
Meskipun Trump menangguhkan tarif resiprokal selama 90 hari, langkah ini belum cukup untuk memperbaiki prospek ekonomi. Perang dagang yang terus berlangsung dengan China semakin memperburuk kepercayaan dunia usaha dan menambah ketidakpastian.
Pada awal April, J.P. Morgan Research memperkirakan peluang resesi di AS pada tahun 2025 mencapai 60%. Bruce Kasman, Kepala Ekonom Global di J.P. Morgan, menyatakan bahwa kebijakan ekonomi AS tampaknya secara tidak sengaja menghambat ekspansi ekonomi. Ia juga menyoroti bahwa kebijakan perdagangan yang restriktif dan penurunan arus imigrasi dapat menimbulkan biaya jangka panjang, yang pada akhirnya menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi AS.
4. Ekspektasi Penurunan Suku Bunga The Fed
Di tengah dilema Powell, survei dari CME FedWatch Tool menunjukkan potensi The Fed untuk menurunkan suku bunganya di tahun ini mengalami kenaikan yakni dari yang awalnya sekitar 50 basis poin (bps) menjadi 100 bps.
Foto: Meeting Probabilities
Sumber: CME FedWatch Tool
Perkiraan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat dapat mengurangi daya tarik dolar AS sebagai aset investasi, karena penurunan imbal hasil investasi, nilai tukar yang lebih lemah dibandingkan mata uang lainnya, kekhawatiran tentang stabilitas ekonomi AS dan mengurangi kepercayaan investor terhadap dolar, serta diversifikasi portofolio oleh investor global ke aset yang lebih stabil seperti emas.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)