Kenapa Amerika Sangat Ditakuti?

6 days ago 9

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

KETIKA Donald Trump mengumumkan tarif bea masuk 32% untuk produk dari negeri kita, dunia tak hanya terguncang, ia terbelah. Angin mendadak berhenti berhembus.

Lautan menahan gelombang. Seekor ayam di pelosok Kapuas Hulu berhenti berkokok dan mematung menatap langit.

Burung elang yang terbang di atas Grand Canyon langsung putar balik ke sarangnya sambil ngedumel, “Waduh, ini beneran dimulai…”

Benar saja. Ini bukan sekadar bea masuk. Ini adalah bentuk sanksi spiritual. Sebuah kutukan ekonomi yang dijatuhkan dari langit tinggi Paman Sam, langsung ke dapur kita yang masih berjuang bedakan oplosan atau murni Pertamax.

Trump tak lagi bicara diplomasi. Ia sedang melempar sabetan geopolitik kelas dunia, dan negara kita yang sedang asyik bikin lomba karaoke antar-RT mendadak jadi target utamanya.

Tapi yang lebih mencengangkan bukanlah tarifnya. Yang lebih mengguncangkan adalah reaksi rakyat jelata digital kita, para netizen.

Tulisan saya yang berjudul “Trump Mulai Hukum Negara Kita” diserbu bagaikan semut melihat gula yang jatuh dari meja dewan PBB. Dalam hitungan jam, artikel itu dibaca hampir 500.000 kali. Iya, setengah juta, wak! Dibagikan 470 kali, dan dikomentari hampir 2.000 komentar. Itu bukan artikel biasa. Itu sudah seperti naskah proklamasi ke-2.

Komentarnya? Gak ada yang main-main. Nasionalisme netizen levelnya sudah masuk kategori langit ketujuh. Ada yang tulis, “Ngapain takut sama Amerika. Lihat Iran sama Korea Utara, malah maju.”

Pernyataan ini sangat berani. Mungkin terlalu berani. Seolah-olah kita bisa langsung bikin rudal esok hari pakai tabung gas dan dinamo bekas. Tapi tidak apa. Spirit-nya bagus.

Lalu ada juga yang bilang, “Tanah kita subur, kaya raya, ngapain takut sama Mamarika.” Betul! Tanah kita memang subur. Saking suburnya, korupsi pun bisa tumbuh subur di mana-mana. Tapi tetap, pernyataan ini membuat dada membusung walau dompet menipis.

Komentar yang paling absurd, paling filosofis, dan paling cocok ditulis di tembok kamar kos mahasiswa, “Ngapain takut sama Amerika, takutlah pada Tuhan.” Ya Allah… Maha Benar netizen dengan segala ucapannya.

Tapi tunggu. Sebelum kita terlalu terbawa emosi dan menyerukan perang pakai bambu runcing digital, mari kita renungkan kenapa Amerika Serikat sangat ditakuti. Ini bukan karena mereka banyak gaya.

Ini karena mereka memang monster global yang dimodifikasi dengan DNA kapitalisme tingkat tinggi.

Pertama, mereka punya kekuatan militer terbesar di muka bumi. Ini bukan sekadar pasukan, ini pasukan dengan teknologi luar angkasa. Anggaran pertahanannya saja bisa buat beli seluruh Kalimantan, plus bonus pesawat tempur untuk gubernur. Mereka punya senjata nuklir, drone, kapal induk, dan sistem pertahanan yang bisa melacak sandal jepit ente dari jarak 300 km.

Kedua, ekonominya. Oh, ekonomi mereka itu seperti Thanos dengan enam Infinity Stones. Dolar AS adalah mata uang cadangan dunia. Artinya? Kalau mereka batuk, rupiah bisa koma. Kalau mereka kentut, harga cabe di pasar bisa naik dua kali lipat.

Ketiga, aliansi strategis. Mereka punya NATO, G7, G20, AUKUS, bahkan mungkin grup WhatsApp rahasia antar pemimpin dunia. Kalau mereka kedinginan, sekutunya langsung kirim selimut.

Keempat, teknologi. Google, Apple, Tesla, Microsoft. Amerika itu bukan cuma bikin aplikasi, mereka bikin kecanduan. Bahkan aplikasi alarm bangun tidur kita pun buatanmereka. Inilah soft power tersadis abad ini.

Kelima, dan yang paling susah dilawan, budaya populer. Hollywood bukan sekadar industri film. Itu adalah mesin propaganda paling manjur. Mereka bikin kita percaya bahwa polisi keren itu harus pakai kaca mata hitam.

Bahwa cinta sejati ditemukan di New York, bukan di Pasar Pagi. Bahwa dunia diselamatkan oleh orang kulit putih pakai jas besi terbang.

Soal hubungan Amerika-Rusia? Jangan salah kira. Mereka itu kayak mantan yang pura-pura benci. Padahal, masih sering balas story. Kadang ribut, kadang kerja sama. Terutama soal nuklir dan luar angkasa. Jangan heran kalau besok mereka rebutan Mars sambil peluk-pelukan.

Mari kita hadapi kenyataan ini, wak. Amerika itu raksasa. Tapi kita bukan semut. Kita manusia. Kita bisa berpikir, mencipta, melawan, dan yang paling penting kita bisa bikin konten TikTok yang viral.

Tarif 32% ini bukan akhir segalanya. Tapi ia adalah pukulan keras. Bukan ke wajah, tapi ke harga diri. Dari tamparan itu, kita harus bangkit. Bukan dengan meme.

Tapi dengan strategi, keberanian, dan kalau perlu, export minyak goreng dengan packaging premium. Biar Trump tahu, negara ini bukan sembarang negara. Ini adalah negeri tempat netizen bisa bikin geger dunia bila sudah marah.

#camanewak

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |