Jakarta, CNBC Indonesia - Praktik pertambangan ilegal di Indonesia masih marak, tidak terkecuali di komoditas timah. Perusahaan timah pelat merah yakni PT Timah Tbk (TINS) bahkan menjadi 'korban' dari kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) yang beroperasi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan.
Direktur Utama TINS Restu Widiyantoro mengatakan praktik pertambangan ilegal yang terjadi khususnya di wilayah Bangka Belitung (Babel) mengancam lingkungan dan membuat perusahaan kalah bersaing di pasar.
Ambil contoh misalnya, terkait dengan harga timah. Setiap kali PT Timah menaikkan harga, misalnya sebesar 250 ribu rupiah per kilogram, pihak pesaing justru menaikkan harga jauh lebih besar, sehingga perusahaan terus mengalami kekalahan.
Maklum, sebagai BUMN, PT Timah harus menanggung biaya seperti pembayaran pajak, royalti, hingga reklamasi pasca tambang. Sementara penambang ilegal beroperasi tanpa kewajiban tersebut. "Sehingga secara bersaing bebas di lapangan di Bangka Belitung, kami tidak bisa bersaing," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI, Jakarta, dikutip Jumat (26/9/2025).
Nah, untuk memberantas kegiatan pertambangan ilegal itu, ada tiga tugas yang akan dilakukan PT Timah. Pertama, melakukan penyekatan khususnya di wilayah IUP PT Timah di Kepulauan Bangka Belitung
"Karena kami menyadari selama ini di Bangka Belitung itu bersaing bebas atau head-to-head antara yang legal dengan yang ilegal. Itu berhadapan-hadapan langsung di lapangan di wilayah Bangka Belitung antara yang legal dengan yang ilegal," kata Restu.
Kedua, pembentukan Satgas khusus timah berupaya melegalkan kegiatan penambangan ilegal yang ada. Hal itu dilakukan dengan memberdayakan koperasi dan mitra-mitra yang telah bekerja sama dengan perusahaan.
Saat ini, pihaknya telah mengelola 30 koperasi penambang, koperasi nelayan, dan koperasi karyawan untuk mengakomodasi hasil tambang yang didapatkan di wilayah IUP PT Timah.
Dalam artian, para penambang yang sebelumnya melakukan operasi dan menjual timah di wilayah IUP PT Timah harus menjual timahnya ke perusahaan agar produksinya terdaftar secara legal.
"Ketentuan kami hanya satu, siapapun yang menambang secara legal, karena itu timah didapat dari IUP PT Timah, jadi timahnya harus masuk ke PT Timah. Itu langkah kedua," tambahnya.
Ketiga, satgas Nanggala tersebut diberikan tugas untuk melakukan penertiban terhadap kolektor. Hal itu dilakukan dengan cara membina, memberdayakan, dan mengelola secara legal.
Jika kolektor tersebut tidak mau ditertibkan, maka mau tidak mau kolektor tersebut harus dikeluarkan dari wilayah IUP PT Timah.
"Kami bina dengan baik. Yang tidak mau, atau tidak mampu, atau karena selama ini puluhan tahun lebih paham cara-cara ilegal, karena dapat uang banyak, tidak harus bayar pajak dan sebagainya, maka kami akan keluarkan dari wilayah IUP PT Timah," jelasnya.
Dengan begitu, pihaknya berharap dengan hadirnya Satgas Nanggala, maka operasi pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah bisa diberantas dan menambah produksi timah perusahaan.
Selain Satgas Nanggala, ada pula Satgas Halilintar yang merupakan inisiatif pemerintah dengan melibatkan aparat penegak hukum (APH) melalui TNI.
Dukungan DPR
Komisi VI DPR RI menyatakan dukungan penuh terhadap langkah strategis pengendalian tambang ilegal dan percepatan hilirisasi produk timah.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menegaskan bahwa DPR mendukung penuh pembentukan Satgas Timah dan langkah pengendalian tambang ilegal.
"Ini era baru. Presiden sudah menegaskan tidak akan mundur menghadapi mafia, termasuk mafia timah. Kami berharap implementasi langkah ini konsisten agar tidak terulang lagi kebocoran besar," ujarnya dalam RDP dengan Komisi VI DPR RI, dikutip Jumat (26/9/2025).
Komisi VI juga mengapresiasi upaya PT Timah mengakomodasi penambang tradisional melalui koperasi dan kemitraan. Skema ini dinilai membuka jalan legal bagi masyarakat untuk berpartisipasi di sektor pertimahan tanpa bergantung pada pasar gelap.
Anggota Komisi VI DPR RI, Budi S. Kanang, memberikan perhatian khusus terhadap nasib penambang timah tradisional. Ia menekankan perlunya pemisahan secara tegas antara penambang tradisional dan penambang ilegal.
Menurutnya, penambang tradisional sudah lebih dahulu ada sebelum perusahaan terbentuk, sementara penambang ilegal kerap dikendalikan oleh eksportir maupun pedagang tidak resmi.
"Yang perlu diakomodasi secara sempurna adalah para penambang tradisional ini. Jangan sampai mereka menjual hasil tambangnya ke pasar gelap, tetapi diarahkan ke pasar resmi yang jelas," tegasnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan PT Timah, Ternyata Tambang Timah RI Dikuasai Ini